Dreamer!

Wednesday 12 November 2014

Kamu inget gak?

Kamu inget gak pas kamu kenal aku, dengan cara yang unik? kamu inget gak pas kamu nembak aku dan nyatain "aku cinta kamu"? kamu inget gak pas aku nemuin kamu, bela-belain sisihin uang jajan buat nyamperin kamu yang jauh di sana? Kamu inget gak pas aku mau pergi ninggalin kamu dan di situ kita mau ngeluarin air mata bareng-bareng karena kita bakal pisah lagi dan enggak tau kapan bakal ketemu lagi?  Kamu inget gak kalo aku selalu ada di saat kamu butuh, beda banget sama kamu? Kamu inget gak kalau aku pernah nyamperin kamu tanpa sepengetahuan kamu dan tiba-tiba ada di depan rumah kamu? Kamu inget gak pas kita berantem hebat saat jauhan, ketika aku samperin kamu kita ketawa-ketawa bareng lagi. Dan kamu inget gak ada aku di sini yang masih mempertahankan kamu, dengan susah payah. semampuku.

Aku bukan kangen kamu, aku cuma inget aja kita yang dulu kok jauh lebih baik keadaanya dibanding kita yang sekarang. Aku bukan ngajak kamu kangen kita yang dulu, cuma mau bernostalgia aja sama kita yang dulu sambil benerin kesalahan yang sekarang. Kita masih menyimpan kenangan, jangan buat kita membuangnya hanya karena masalah sepele, egois dalam menahan rindu.

Semua kenangan manis atau pahit itu pernah kita lewati, apa kita akan mengubur dan membuangnya jauh jauh? aku gak mau.

Monday 10 November 2014

Tak bisa lepas

Ada kehidupan yang sederhana selain kusimpan rindu yang mengalir deras, perasaan-perasaan itu selalu hadir tanpa aku memanggilnya, aku memanggilnya kamu.

Ada cahaya yang tak pernah redup setiap aku membayangkan aku bertemu denganmu, padahal pertemuan terjadi beberapa bulan yang lalu. Entah kenapa aku masih jelas mengingat kejadian tersebut, aku memanggilnya kamu.

Ada harapan yang selalu hadir setiap do'a yang terpanjatkan, do'a yang selalu kusimpan dan dilekatkan pada setiap aku bertemu dengan Tuhan, aku memanggilnya kamu.

Ada embun yang sering mencair, saat aku menyebut aku merindukanmu, bukan karena aku tak bahagia denganmu, melainkan aku bisa menjadi orang yang sanggup menantimu ini kebahagiaan yang tak ternilai, tentang ketulusan dan tentang kamu.

Ada pelukan hangat setiap aku menerima pesan darimu, perasaan hangat, perasaan yang bisa menjadi cair ketika rindu sudah lama membeku akan ketidak hadiranmu, tidak jauh dari aku menginginkan pelukan nyata darimu, dan aku tetap nunggu kamu.

Ada lorong yang panjang, tak terhitung seberapa jauh kita terpisahkan, dan semuanya kita dekatkan dengan makna yang sama, kalimat yang sama, dan hati yang sama, merindukan.

***

Aku memanggilnya kamu, dan aku mengharapkan semua itu kamu. Terkadang sungguh melelahkan, aku merasa aku tak sanggup, tapi kamu berfikir aku selalu bisa untuk menanti kehadiranmu. Kita memang bisa untuk menunggu. Tapi kita terlalu sering tidak bisa menghadapi sifat kekanak-
kanakan dan egoisnya kita. tapi, kita bisa untuk menghadapi semua masalah, karena kita mau belajar untuk menerima dan belajar menjadi pribadi yang dewasa. Ini tidak bisa lepas dari aku ingin kita sama-sama menjadi pribadi yang lebih baik dan berusaha seakan semua menjadi baik-baik saja saat berjauhan. Waktu dan kesabaranlah yang menjawab kapan kita memenangkan pertarungan akan rindu ini, yang pasti semua sudah ditentukan, bersabarlah. Bukankah Tuhan bersama orang-orang yang bersabar.

Sumber: myldrstory

Sangatlah buruk

Sangat lah buruk, ketika kita mengharapkan seseorang yang bisa kita pertahankan namun semua sirna ketika waktu yang membuat kita bertemu pada titik yang sama, jenuh.

Sangatlah buruk, ketika harapan yang sudah kita bangun bersama, hubungan yang kita yakin sudah kokoh menjadi terbalik ketika waktu menguji kita dengan keras kepalanya kita.

Sangatlah buruk, ketika cinta yang sudah kita tanam mulai tumbuh benih- benih pengertian satu sama lain, semua tertutup ketika kita menjadi enggan memilih siapa yang ingin kita pahami.

Sangatlah buruk, ketika apa yang kita hadapi bersama, masa tersulit masa ketika kita bisa tertawa bersama menjadi harapan ingin melupakan satu sama lain.

Sangatlah buruk, ketika kita sudah mengerti untuk menunggu satu sama lain, namun semua sirna ketika waktu mengikis kesabaran.

Sangatlah buruk, ketika kepercayaan yang kita pegang untuk memahami, semua sirna ketika orang lain masuk dalam hubungan kita. Jangan bertanya siapa yang memulai.

Sangatlah buruk, dan buruk sekali. bertahun-tahun kita memperjuangkan satu sama lain, bertahun-tahun kita membangun impian, dan bertahun-tahun kita menyimpan rindu. Semuanya akan kita lupakan dengan masa yang paling sulit, menerima hati yang baru. Dan tetap melupakan.

Forgive me
Is all that you can't say
Years gone by and still
Words don't come easily
Like forgive me forgive me
- Baby Can I Hold You, Tracy
Chapman.

Sumber: myldrstory

Wednesday 5 November 2014

Stasiun

"Yang aku pingin kamu lupain aku dan lepasin aku," iya. Kata kamu itu saat kita menunggu kereta di stasiun manggarai. Pertengkaran di dalam kereta itu yang membuat kamu marah. Memang sih, semua itu salah aku. Salah aku yang tidak jujur sama kamu. Tidak jujur kalau aku masih berhubungan dengan 'dia'  orang yang pernah ada dihatiku.

"Maksud kamu?" Aku malah bertanya demikian. Berlagak bodoh yang tak mengerti ucapanmu. "Iyaudah, sampai sini saja," Katamu lagi. Dan entah untuk keberapa kalinya aku sesak dibuat olehmu. "Aku bukan cuma bete sama kamu, tapi aku sudah benar-benar kecewa sama kamu,"  Ucapnya dan menghembuskan nafas panjangmu.

Aku tidak bisa mengucapkan apapun lagi. Mau nangis pun takkan bisa. Mau marah apalagi. Aku bingung, hati ku hancur, pikiranku entah kemana lagi.  Aku galau. Dan seketika pusing menyergapku.

"Aku gamau. Aku gamau kita berakhir. Penyelesaiannya bukan seperti ini, caranya bukan kayak gini,"  akhirnya aku bisa menjawab dengan lancar dengan nada yang sangat begitu lirih. "Seharusnya gaseperti ini, Mas. Aku gamau kita udahan," ucapku lagi disela-sela jeda pembicaraan kita. "Aku butuh waktu, mending kita break aja. Percuma juga, kita juga sudah sering bertengkar gini,"  Kamu selalu membuat alasan dengan pertengkaran kita ini untuk berakhir. Selalu seperti itu alasannya. Hingga aku bosan mendengarnya. Sakit.

"Selalu kayak gitu," ucapku.
"Selalu gitu gimana?"  Kamu juga berlagak tidak mengerti dengan ucapanku. "Kalau kita lagi berantem, kamu selalu bilang berakhir. Kenapa, sih?" Aku bertanya dengan heran sembari menatap matamu yang sedang sayu seperti itu.

"Kamu semua yang membuat jadi gini," Apa? Aku tak salah dengar? Kenapa jadi aku melulu? Kenapa hanya aku yang selalu kau salahkan? Kenapa mesti aku yang kau tuduh?

Tak pernah sadarkah kamu. Aku yang sering kau sakiti. Aku yang sering memendam sakit ini sendiri. Kenapa aku pendam? Iya, karena aku tak ingin kehilanganmu.

Apakah kau tak sadar, sesakit apa jika kamu sering chat dengan teman-teman curhatmu, yang katamu itu privasi kalian berdua. Apa aku tak sakit? Aku tak dibolehkan untuk melihat.

Dan apakah kau tak sadar, saat semua followers twitter kamu itu perempuan-perempuan yang nyatanya memberi harap sama kamu. Menyukai disetiap kata bijak setiap tweet mu. Apa kau tak menyadarinya? Dan kamu bilang, itu hanya tweet.

Oke, aku mengerti. Aku akan ngertiin kamu. Maka dari itu aku mengalah. Maka dari itu, aku memberikanmu kebebasan akan hal itu.

Entah mengapa jika sedang bertengkar seperti ini aku malah selalu mengingat-ingat setiap moment indah yang sudah kita lewati.

Saat lucu kita, saat sentuhan lembut membelaiku, saat ciuman romantis yang kau buat, saat bisikan sayang kamu ke aku.

Dan apalagi sebelum ini, kau telah membuat moment yang mungkin tak dapat aku lupakan. Ya, kamu pasti tau apa yang aku maksud ini.

"Apa cuma segini, Mas? Apa juga sampai sini perjuangan kamu?" Kataku disaat hening mulai menyergap kita. "Cuma segini? Dengan semua harapan-harapan yang sudah Mas buat buat aku?"  Kamu hanya diam. Entah terhenyut oleh kata-kata ku atau malah tak perduli dengan pembicaraanku ini. Entahlah , terserah kamu!

Kamu masih sibuk dengan telepon genggam mu, masih saja sibuk dengan media sosialmu itu. Kamu  mengacuhkan  perasaanku yang sedang hancur ini setelah dengar pengakuanmu saat meminta untuk mengakhiri hubungan ini.

"Main hpnya udah dulu kali," kataku dan langsung saja menyambar telepon genggam milikmu dan tanpa ku sengaja lagi lagi dia menulis kekesalannya di media sosial itu. Sontak, aku langsung menghapusnya. Dan memegang telepon genggam itu dengan tanganku begitu erat agar dia tak merebutnya.

"Yaudah nih, aku mau pulang. Sudah malam. Nanti malah kemalaman diomelin nyokap," kata kamu sembari menyodori tiket masuk kereta. "Balikin hp aku!" Serumu agak meninggi. Mungkin karena kamu semakin kesal dengan ku.

"Kalau kamu masih bete begitu, aku gamau pulang. Biarin aja sampai pagi disini," ambek ku demikian. Sungguh tak rela sekali jika pergi aku dengan begitu gembira tapi pulang dengan keadaan sedih, galau, gundah gulana seperti ini.

"Mau sampai kapan, kita udah lewati 2 kereta. Jangan bikin aku makin kesal, ini tempat umum!" Katamu masih dengan nada yang meninggi.

"Sampai kamu betenya hilang!" Kataku tak mau kalah.

Dan tiba-tiba keretapun datang kembali. Ini kereta yang ketiga kalinya. Lumayan lama juga jika mesti menunggu kereta selanjutnya lagi. Dan banyak pula penumpang yang masih berebut untuk naik ke kereta ini.

Aku berdiri dan membalikan badan untuk menuju kereta, "Yaudah, hp kamu ga aku balikin," dan ku tinggalkan dia dibelakangku.

Dan ternyata dia mengikutiku naik ke kereta. Ya karena kita pulang agak malam, jadi ya kita mendapati kereta yang sangat penuh ini.  Aku kedapatan berdiri di dekat pintu. Tak dapat pegangan untuk menahan. Ya sudah aku sekuat tenaga untuk menahan agar tak jatuh. Tapi tak bisa, karena pusing yang melanda, jadi aku kehilangan keseimbangan dan kamu masih peduli dengan merangkulku agar aku tak jatuh.

Tapi sedih saat kereta itu mulai stabil.berjalan, kamu melepaskan rangkulan itu. Sedih sekali. Ingin sekali menangis, tapi ku tahan. Aku tak boleh cengeng dihadapanmu, aku tak boleh mengeluarkan setetes pun air mata ini untuk mu.

Saat kereta berjalan kembali, kamu merangkul aku kembali. Tapi, saat kereta itu stabil berjalan kembali, begitupula kamu melepas rangkulan itu kembali.

Hingga sampai di stasiun Kranji. Stasiun pertemuan terakhir kita. Stasiun perpisahan kita.

"Yasudah. Sudah sampai... Sudah malam juga,balikin hp aku,"  Katamu saat akan menukarkan kembali kartu tiket itu dengan digantikan oleh uang.

"Gamau balikin, sebelum kamu tarik semua ucapan yang tadi," kataku sedikit memaksa. Aku masih belum rela bila ini benar-benar terjadi. Aku tak menginginkan perpisahan yang seperti ini dihidupku. Menyakitkan.

Dan kamu masih saja diam.

"Cuma segini, Mas? Cuma segini?" Aku mengulangi pertanyaan itu.

"Cuma segini apasih?" Kamu malah bertindak bodoh lagi.

"Cuma seginikah perjuangan, Mas? Dengan semua kata-kata yang udah mas buat sendiri?" 

"Kalau begini, dari dulu aja aku lepas mas. Tapi aku ingat aku pasti bisa bertahan. Aku bisa lewati ini semua, buktinya aku bisa merelakan sahabat-sahabat aku demi mas. Merelakan mereka pergi demi mas. Tapi apa? Jika kecewa yang hanya seperti ini saja mas minta berakhir? Apa mas gak mikir, gimana perjuanganku untuk selalu ke cakung-depok demi bertemu dengan mas. Rela panas-panasan dengan merelakan kesibukkanku untuk menjemput rindu kita. Rindu yang perlahan merusak hubungan kita ini, mas. Apa mas ga nyadar?" Aku jadi kesal sendiri.

"Yasudah aku butuh waktu. Sudah malam nih. Nanti diomelin nyokap," respon mu seperti itu.

"Aku gabakal biarin mas pulang, kalau ga narik semua ucapan mas yang tadi,"  tiba-tiba dia melepas sweaternya dan menyampingkan aku.

"Nih ada rel kereta ya, jangan sampai gue menyerahin semuanya disitu." Kata mu dan langsung bergegas meninggalkan ku untuk kembali ke rel kereta tersebut.

Awalnya aku tak mempercayai perkataannya, tapi ku intip seperti ada sinar-sinar seperti sorotan lampu. Ku kira memang keretanya datang, tapi ternyata lampu jalanan. Padahal aku sudah bergegas menghampirinya. Dan dia malah mengumpat di belakang mobil yang sedang terparkir.

"Sudahlah say, semuanya udah berakhir. Biarin kita butuh waktu masing-masing,"

"Cuma segini perjuangannya? Gainget harapan-harapan yang sudah diberikan ke aku?"

Dan kamu mulai  diam kembali. Tak mengerti apa yang sedang kamu fikirkan.

"Yasudah iya. Kamu makan dulu sana, belum makan kan dari semalam."

"Aku gamau makan sebelum mas narik semua omongan mas, mas ga bete lagi, ga cemberut lagi, gak kecewa lagi sama aku."

"Iya iya udah nih engga kok. Kita ga jadi putus,"

"Ah engga. Paling itu cuma buat nyenengin aku doang, biar mas cepet pulang. Paling nanti diputusin lagi lewat sms."

"Enggak elah. Sampai segitunya. Enggak kok enggak, beneran. Yasudah makan dulu,"

"Halah.... Tapi mas makan juga,"

"Kamu aja,"

"Ah yasudah, gamau pulang..."

"Ih! Yasudah iya, ayo..."

Akhirnya kita berjalan keluar dari stasiun Kranji ini untuk menuju ke warung nasi goreng di pinggir jalan langganan kita.

"Tuhkan ga ikhlas banget, ga dari hati. Ah males!" Seruku masih dengan raut wajah yang cemberut.

"Apaan sih, Say. Iyadeh iya dari hati,"  langsung mengandeng tanganku dan kita menuju jembatan penyebrangan.

"Ah palingan besok diputisin lagi," aku selalu mengulang kata-kata itu. Karena ketakutan ku untuk kehilaganmu.

"YaAllah nih bocah. Enggak sayang, enggak. Omongan doa lho,"

"Ya tapi emang pasti kan...."

"Enggak! Beneran deh, udahan ah cembetut nya... Senyum dong," katanya dan menyuruhku untuk senyum.

Susah jika untuk senyum disaat seperti ini. Sulit untuk bernafas saat aku kehilanganmu.

"Nasi gorengnya gajualan, ketropak aja deh," kataku masih dengan palsuku.

Dan kamu hanya mengiyakan saja.

"Mas, ganafsu. Bantuin ya,"

"Habisin ah, sayang. Paksain, makan lontongnya aja.."

"Ganafsu,

Sunday 2 November 2014

Izinkan aku memeluk rindu kita

Jarak dan waktu. Itulah arti kesabaran kita. Jarak yang menjauhi kita, waktu yang menyibukan kita. Entah sudah berapa minggu kita tak bertemu. Entah sudah berapa banyak kesabaran yang telah aku lalui ini.

Aku merindukan kamu, mas. Aku merindukan kita yang dulu. Kita yang selalu ada. Kita yang selalu tertawa. Kita yang selalu saja bahagia.

Tidak seperti ini kita yang kuinginkan. Tidak! Aku tak suka kita yang seperti ini, saling melupakan satu sama lain agar rindu tak membunuh kita. Agar rindu tak menghancurkan hubungan kita.

Kita sibuk satu sama lain. Hanya sekali dua kali kita  romantis melalui pesan singkat. Telepon? Halah. Kamu selalu saja ada alasan, jika aku ingin mendengar suara kamu. Alasan karena sudah malam, aku harus tidur. Alasan kamu belum masuk kamar, karena aku sedang di nomor dua kan oleh nonton bola mu. Yayayaya, aku selalu sabar menghadapi ini semua.

Kamu selalu saja tiba-tiba menghilang disaat kita baru saja memulai pembicaraan. Dan tiba-tiba datang lagi dengan meminta maaf, dan alasannya selalu bilang pending-lah. Baru lihat hp-lah. Entah sudah berapa kali kamu begitu, mas...

3bulan 8hari. Itu belum seberapa mas... Tapi kamu sudah sering sekali begini. Sangkimg seringnya seperti ini, aku sampai kebal sekali menghadapi kamu.

Mengalah demi kamu, merindu sendiri gara-gara kamu, dan tiba-tiba nangis sendiri pun karena kamu.

Kapan kita bertemu mas? Rindu sudah meminta untuk dijemput. Kasihan dia yang selalu menunggu kepastian yang selalu tak jelas seperti ini. Rindu capek lho kalau lama-lama kamu menghadapinya seperti ini.

Sampai dia sakit-sakitan melawan hujan, capek karena sering bolak-balik tapi tak pernah dijemput. Aku takutnya lama-lama dia lelah dan akhirnya karena sering mengalah dia malah pergi. Aku tak ingin seperti ini, mas...

Rindu tidak akan tuntas, kalau belum diselesaikan dengan pertemuan mas. Ayo, kapan kita akan menjemput rindu kita? Masih sibukkah kau dengan dunia mu?

Izinkan aku memeluk rindu kita, Mas. Izinkan aku untuk bersenandung bahagia dengan cintanya. Dengan detak jantung yang berdetak kencangnya saat bertemu.