Satu persatu helaian daun mulai berguguran. Angin seakan begitu
bahagia menggoda daun-daun untuk lepas dari belenggu batang agar ikut
menari indah sesuai lantunan iramanya. Di negeriku memang tak mengenal
musin gugur, ini adalah sebuah sapaan hangat pertanda tetes-tetes air
sang hujan akan turun atau bahkan hanya mengecoh. Tapi saat ini langit
memang tampak muram dihiasi mendung pekat. Cuaca seperti ini sangat
tidak disukai oleh sebagian orang kecuali seorang Karina Larasati, itu
aku.
Akhirnya rintihan hujan pun mulai menyapa, memang tak begitu deras
tapi inilah yang sangat aku tunggu, disaat seperti ini selalu
menginspirasiku untuk berkarya. Menulis cerpen, artikel maupun puisi
adalah duniaku yang kedua. Di dunia kedua inilah yang bisa membuat
hidupku lebih dari sempurna, karena aku bisa berbuat apapun sesukaku dan
semauku, aku berhak menentukan jalan cerita hidupku sendiri, berhak
memainkan peran apapun, berhak dicintai dan mencintai siapa saja.
Pena yang ku pegang mulai menggoreskan tintanya, semua yang mengalir
di benakku perlahan tertuang. Semua mengalir dengan lancar, apalagi lagi
didukung suasana yang bersahabat. Ya bersahabat bagiku pastinya.
Disini, di bangku kayu ini aku duduk sembari memainkan tinta menari di
kertas putih. Bangku ini mempunyai atap cukup lebar sehingga hujan tak
sempat membasahiku, hanya hawa dingin angin yang berhasil mencolek.
Sekelilingnya pun dihiasi oleh tanaman hijau yang saat ini tertunduk
malu oleh hujan. Sesekali ku perhatikan sekeliling, tampak beberapa
orang sedang berteduh di halte sambil mengepalkan kedua tangannya di
dada, menahan dingin dan menahan rasa sebal. Benar kan yang aku bilang,
bagi sebagian orang cuaca seperti ini sangat tidak disukai.
Aku sedang merambat masuk ke dalam dunia Romeo dan Juliet. Aku ingin
mengisahkan kisah cinta sejati itu, dan tentunya menurut versiku. Akhir
ceritanya ingin aku ubah, tak ada kematian karena cinta sejati harus
tetap hidup. Seperti yang sudah aku katakan, ini adalah duniaku. Aku
berhak mengatur jalan hidup sesuai keinginanku.
Hujan mulai mereda disusul oleh bunyi ponsel yang berdering menandakan kotak masuk terdapat pesan baru.
Karin, lo dimana?
Bisa ke rumah gue kan?
Aku masukkan kembali ponselku ke dalam saku celana setelah membalas
pesan singkat dari Tere. Aku sudah paham betul maksud dari pesannya
tadi. Teresia Anastasya, kami sudah bersahabat sejak SMP. Persahabatan
itu berawal ketika aku dan Tere ditugaskan untuk menjadi satu kelompok
dalam praktik biologi. Tere seorang perempuan yang cerdas, nilai
ujiannya selalu diatasku. Tapi satu kebiasan buruk Tere yang membuatku
harus ekstra sabar, dia orangnya mudah sekali panik apalagi jika
masalahnya behubungan dengan cowok bernama Bima.
—
“Kenapa lagi?” tanyaku dengan nada sabar. Benar kan dugaanku, lagi-lagi Bima.
“Ya gue merasa nggak adil aja, Rin,” Tere mengeluh dengan muka memelas
sambil memeluk boneka beruang biru besar pemberian Bima sebagai hadiah
ulang tahunnya. Kantung matanya pun tampak sembab, pasti tadi dia habis
nangis.
“Nggak adil bagaimana? Memang keadilan seperti apa yang kamu inginkan?
Apa kamu masih berharap supaya Bima memperjuangkan cinta kalian,”
kembali aku bertanya pada Tere tentang ketidakadilan yang dia rasakan
sambil menaikkan sedikit garis alisku. Dan aku masih hafal betul, ini
bukan pertanyaan pertamaku.
“Iya, tapi dia malah pasrah gitu aja terima undangan pernikahan gue sama
orang yang sama sekali nggak gue impikan,” jelasnya sambil merebahkan
diri di atas kasur empuknya.
Aku menghela nafas lagi untuk kesekian kalinya. Sejenak aku
menengadahkan kepala ke atas memperhatikan langit-langit kamar Tere yang
bercat warna biru langit. Warna biru memang selalu bisa memberikan
ketenangan dan semoga Tere juga bisa merasakan ketenangan itu.
“Kalau kamu merasa seperti itu, aku rasa dia juga berfikir sama kayak
kamu. Ngerti kan maksudku?” aku menoleh ke arah Tere. Seketika
pandanganku tertuju pada meja yang berada tepat di samping tempat tidur
Tere, sebuah bingkai foto tampak tertelungkup.
“Gue nggak yakin. Mukanya datar-datar aja waktu terima undangan dari
gue?” Tere bergumam, tapi aku lebih tertarik untuk melihat bingkai foto
siapa yang dibiarkan rebah. Ketika aku balikkan, ternyata itu adalah
foto Tere dan Bima ketika sama-sama berlibur ke Lombok. Ya, aku ingat
betul karena akulah fotografernya. Tergerak aku kembalikan bingkai foto
itu tegak kembali.
“Kamu kan udah lama pacaran sama Bima, masa nggak nyadar kalau wajah
Bima itu memang lempeng nyaris tanpa ekspresi,” lanjutku kemudian.
“Dia itu cool bukannya lempeng, Karin,” seperti biasa dengan bibir
manyun Tere selalu protes setiap aku bilang kalau si Bima itu punya
wajah yang lempeng.
“Ya udah, jadi aku bisa bantuin apa buat kamu?” tanyaku pasrah.
“Gue cuma mau tau, gimana jelasnya perasaan Bima sebenarnya ke gue.
Tolong ya Rin, gue mohon banget,” lagi-lagi Tere memasang wajah memelas,
wajah inilah yang selalu membuatku merasa tak tega untuk menolak.
“Kenapa nggak kamu sendiri saja yang bicara berdua sama Bima. Menurutku
itu akan lebih baik,” lanjutku sebelum resmi aku mengabulkan
permohonannya.
Tapi lagi-lagi Tere memasang wajah memelas bahkan tambah parah, kedua
telapak tangannya ditangkupkan seperti layaknya orang memberi hormat di
keluarga keraton.
“Oke, besok aku coba bicara sama Bima.” Tampak senyum Tere terkembang
lebar, dihiasi dua lesung pipi yang bertengger manis di pipi kiri dan
kanannya.
Hari ini akhirnya aku membuat janji untuk bertemu dengan Bima. Aku
sengaja datang lebih awal, rencananya aku akan melanjutkan cerita
tentang kisah sang Romeo dan Julietku. Saat ini aku sedang di sebuah
kafe, pengunjung di kafe ini tidak terlalu ramai. Wajar saja jam makan
siang sudah berlalu sekitar satu jam yang lalu. Di depanku sudah
tersedia secangkir cappuccino panas yang uapnya masih tampak. Cuaca
memang agak mendung menyebarkan hawa dingin, di negeriku memang sedang
musin penghujan saat ini.
Sebenarnya bisa dibilang aku kuranng konsentrasi untuk meneruskan
cerita yang sedang aku tuangkan dalam tulisan. Konsentrasiku terpecah
pada Tere dan Bima.
Singkat cerita tentang Tere dan Bima. Tere terpaksa menerima pinangan
laki-laki yang tidak dia suka namanya Billy, bahkan dia pun tidak
terlalu mengenal Billy sebelumnya. Menurut cerita Tere, Billy adalah
anak dari atasan ayahnya bernama Pak Santosa Atmawijaya. Dan sekarang
Pak Santosa tengah kritis akibat penyakit ginjalnya. Pak Santosa mau
kalau anak laki-laki satu-satunya itu menikah dengan anak Pak Ridwan,
ayah Tere. Pak Ridwan sudah menjadi orang kepercayaan Pak Santosa selama
ini. Entah ini demi siapa, akhirnya Tere menerima pinangan itu.
“Hai, kok melamun aja. Udah dingin tuh minumannya.”
Aku sedikit kaget dengan suara bass milik Bima. Laki-laki itu kini sudah
duduk di kursi depanku dan langsung memesan segelas cappuccino hangat,
sama sepertiku. Tanpa sengaja aku memperhatikan Bima. Ada sepasang mata
yang terbingkai indah di bawah alis tebal yang melengkung sempurna. Tapi
satu yang menurutku agak aneh, seperti yang sudah kubilang wajahnya
nyaris tanpa ekspresi.
“Kenapa sih Karin? Gue kesini bukan buat lihat loe bengong kan?” Bima
melambaikan tanganya di depan mukaku. Lagi-lagi aku terlihat sedang
melamun, dan itu aku tak sengaja.
“Apa kabar kamu sama Tere?” aku mulai bertanya. Sebenarnya aku bingung mau memulai dari mana.
“Gue kira pasti loe udah tau,” jawab Bima santai sambil mengaduk-aduk cappucinonya.
“Sebaiknya kalian berdua bicara langsung,” aku putuskan untuk to the
point saja, malas rasanya berlama-lama bicara dengan si wajah tanpa
ekspresi ini. Lagian hujan yang selalu aku nantikan saat ini sudah mulai
menitik.
“Tapi buat apa? Apa yang harus dibicarakan, semua kan udah jelas. Tere lebih memilih cowok pilihan orangtuanya daripada gue.”
“Tere punya alasannya. Tere cuma mau kamu perjuangin cinta kalian. Kalau
aku lihat dari mata kalian berdua, sebenarnya kalian punya rasa cinta
yang besar tapi sayangnya sikap egois dan gengsi kalian juga sama
besarnya,”
“Nggak ada gunanya, Karin. Buat apa kalau cuma gue yang berjuang, sedangkan dia pasrah gitu aja,” kata Bima mulai sewot.
“Kan sudah aku bilang, Tere punya alasan. Dan darimana kamu tau kalau
nggak ada gunanya, kamu belum mencoba,” aku menghela nafas. Suasana
hatiku mulai sedikit panas, dan aku rasa Bima juga begitu.
“Aku mohon, coba fikirkan lagi. Aku cuma nggak mau Tere terus-terusan
sedih,” lanjutku dengan nada lunak, aku hanya tidak mau mengecewakan
sahabatku.
Terlihat Bima berfikir sejenak. “Okey, gue bakalan coba.” Aku
mengembangkan senyum terima kasih. Bima lalu menyeruput cappucinonya,
tersenyum dan pergi. Baru kali ini aku lihat Bima tersenyum dengan penuh
ketulusan.
Dan akhirnya aku juga memutuskan untuk pulang. Otakku buntu,
inspirasi kisah Romeo dan Julietku tiba-tiba menghilang. Padahal hujan
selalu menginspirasiku tapi kali ini tidak. Aneh.
Dua hari kemudian.
Kematian selalu bisa membuat orang merenung. Mencoba mencerna setiap
sapaan maut yang bisa datang kapan saja, tiba-tiba dan sesukanya. Begitu
juga dengan Romeo dan Julietku, ternyata memang harus maut yang
memisahkan. Dan aku belajar satu hal. Jika sebuah takdir harus
dipisahkan oleh maut, berarti itulah yang terbaik.
Saat ini aku sedang berada di hadapan mereka yang ditakdirkan untuk
berpisah oleh maut. Pagi buta aku mendapat kabar kematian itu. Aku saja
belum lupa senyum mereka yang sekarang terbaring dengan tubuh kaku
mendingin.
Tere dan Bima tewas dalam kecelakaan motor saat mereka pergi
jalan-jalan untuk melepas rindu, itu yang aku tau. Aku belum sempat
bertanya lebih, aku cukup tau untuk tidak membuat orangtuanya lebih
terpuruk. Yang aku tau, kini cinta Tere dan Bima sang Romeo dan Julietku
telah abadi selamanya. Selamat jalan Romeo dan Julietku. Kalianlah
inspirasiku.
Sumber : Noviana Kusumawati
If I were the rain that bind together the earth and sky, who in all eternity will never mingle, would I be able to bind the hearts of people together?
Dreamer!
Friday 18 April 2014
Tuesday 8 April 2014
Entahlah
Tau rasanya sudah dibuat terbang tinggi-tinggi diberi harapan lalu dijatuhkan sampai pergi begitu saja? Bagaimana perasaannya? Sakit bukan? Iya sakit banget! Ya, itu yang sedang lo lakuin ke gue. Ya, sebenarnya gue udah biasa mendapatkan perlakuan yang seperti ini. Udah biasa dibuat nunggu, udah biasa dibuat kecewa, udah biasa dibuat sedih. UDAH BIASA!
Kebal sih sebenernya. Ya, tapi gue juga punya perasaan kali. Gue wanita biasa kok. Gue sama seperti perempuan-perempuan lainnya. Masih punya rasa. Punya hati. dan bisa merasakan sakit hati juga. Hahaha! Bicara sakit hati? Apasih sakit hati itu? Kok gue selalu ngerasain hal itu terus ya? Oh iya, mungkin karena elo yang selalu nyakitin hati gue yang buat gue ngerasa bahwa rasa ini selalu gue rasain mungkin ya.
Haha. Bodoh, tolol, bego! Iya gue bego! Udah tau sering disakitin masih aja ngeharepin dia yang gak pasti. Ngeharepin yang jauh sekali dari sebuah kenyataan. Ngarepin........... Ah! Banyak yang gue harepin dari elu. Sangking banyaknya, sampe gue lupa apa aja hal itu.
Ini bicara siapa sih emang?
Aduh gue juga gatau... Yang jelas, yang pernah buat gue kecewa yang gue maksud disini. Sudahlah!
Kebal sih sebenernya. Ya, tapi gue juga punya perasaan kali. Gue wanita biasa kok. Gue sama seperti perempuan-perempuan lainnya. Masih punya rasa. Punya hati. dan bisa merasakan sakit hati juga. Hahaha! Bicara sakit hati? Apasih sakit hati itu? Kok gue selalu ngerasain hal itu terus ya? Oh iya, mungkin karena elo yang selalu nyakitin hati gue yang buat gue ngerasa bahwa rasa ini selalu gue rasain mungkin ya.
Haha. Bodoh, tolol, bego! Iya gue bego! Udah tau sering disakitin masih aja ngeharepin dia yang gak pasti. Ngeharepin yang jauh sekali dari sebuah kenyataan. Ngarepin........... Ah! Banyak yang gue harepin dari elu. Sangking banyaknya, sampe gue lupa apa aja hal itu.
Ini bicara siapa sih emang?
Aduh gue juga gatau... Yang jelas, yang pernah buat gue kecewa yang gue maksud disini. Sudahlah!
Subscribe to:
Posts (Atom)