If I were the rain that bind together the earth and sky, who in all eternity will never mingle, would I be able to bind the hearts of people together?
Dreamer!
Saturday 7 December 2013
Ketika aku mulai memahamimu
Cinta ini sangat tulus. Sungguh. Tak ada penuntutan yang kulakukan, aku juga tak menganggumu, dan aku juga tak meminta status serta kejelasan. Aku tidak seberani itu kan? Kamu mengetahuiku juga mengenalku, tak mungkin jika kautak menyadari ada perasaan berbeda dalam hatiku. Aku bisa menebak matamu, ketika kamu bercerita tentang dunia yang ingin kausinggahi, saat kau membawaku ke dalam dunia ceritamu yang sudah mulai kupahami. Aku berusaha memahami kemisteriusanmu.
Aku merasa sudah mulai memahami. Aku merasa punya kesempatan untuk sedikit mencicipi hidup menyenangkan bersamamu. Aku sanggup mengisi hari- harimu dengan kebahagiaan baru. Tapi, ternyata kita tak sejalan. Perhatian yang kusediakan khusus untukmu seakan menguap tak berbekas. Rasa cinta yang kuperjuangan dengan sangat demimu seolah-olah tak pernah mampir sedikit dalam benakmu. Kaubiarkan aku mengejar bayangan, sementara kenyataan yang sesungguhnya entah kau sembunyikan di mana. Batas kebahagiaan yang dulu kaujelaskan secara utuh padaku; kini buram dan hitam.
Tidak mungkin kautidak tahu bahwa aku mencintaimu. Tidak mungkin kautak memahami perhatian dan tingkah lakumu. Tidak mungkin hatimu begitu buta untuk mengartikan segalanya yang kurasakan terhadapmu adalah cinta! Apa hatimu sengaja kaukunci rapat untukku? Apa matamu sengaja kau butakan agar tak membiarkan bayanganmu menyentuh retinamu?
Langkahku terus mencoba menggapaimu, jemariku merasa menggenggam tanganmu; namun, ternyata semua kosong. Kukira, percakapan kita adalah hal yang spesial bagimu. Kusangka, semua perlakuanmu terhadapku adalah bukti bahwa kau menganggapku istimewa. Nyatanya, aku salah menafsirkan. Bagimu, aku bukan siapa-siapa dan tak berarti apa-apa. Aku tak bisa menahanmu pergi. Bahkan, ketika kau memilih habiskan kebahagiaanmu bersama yang lain, kemudian membiarkan aku sendirian. Tanpa mengucapkan pisah dan tanpa kautahu sudah ada yang tumbuh diam-diam di hatiku; cinta.
Ternyata, aku belum benar- benar memahamimu. Ternyata, aku belum benar-benar mengenalmu. Ternyata, kamu yang kuperjuangkan dengan sangat mendalam; tak sehebat yang kubayangkan.
Sumber : Dwitasari
Friday 6 December 2013
Sinopsis Novel Tiga Hari Yang Lalu
*Cekidot
Saturday 23 November 2013
Memories of mother
Seperti biasa. Dimalam seperti ini. Seperti malam-malam yang telah lalu. Ada saja yang mengingatkan tentang mu. Tentang bagaimana kau mengajari ku di dunia yang fana ini. Tentang semua cara yang bisa membuat aku tenang dalam menghadapi sebuah perasaan yang sedang mengganjal.
YaAllah, sudah berpuluh-puluh hari aku merindu kembali. Setelah kepergiannya, duniaku tanpanya berbeda. Tak seperti biasanya. Duniaku seperti sehelah kapas yang bertebrangan. Hampa.
YaAllah, izinkan hambaMu ini untuk terus mengadu, mencurahkan segala kepenatan dunia yang kurasa tiada berguna tanpaMu. Begitupun tanpanya. Jika boleh, aku titip setiap kenangan, rindu, cinta dan kasih sayang yang masih sangat dalam dilubuk hatiku. Tak ada cinta selain cinta kepadaMu, kepada beliau dan teruntuk keluarga yang begitu menyayangiku terlebih dari apapun.
Mah, rindu ini sangat menyayat hati, Mah. Kapan kita akan bertemu, Mah? Kapan? Rindu ini selalu saja sendiri. Akankah semua yang aku inginkan dapat terkabul oleh Allah?
Mah, aku kangen sama mamah. Kangen banget. Semua berbeda tanpa Mamah. Biasanya ada yang perhatian sama aku saat aku meringis merasakan sakitnya kepala ini. Biasanya ada mamah yang selalu masak, masakan yang begitu istimewa. Biasanya ada canda tawa saat kita jalan-jalan bersama. Mah, akankah semua itu dapat terulang?
Mamah pasti tahu kan? Iya mamah, anak mamah yang pertama sudah menikah. Mamah senang tidak? Semoga senang ya, Mah. Tapi tidak dengan aku, Mah. Entah mengapa, rasanya ada yang mengganjal dihati ini jika melihat dia.
Aduh, mah. Aku tidak tahu harus apalagi untuk merubah dia. Iya, dia...kakak iparku. Menantu mamah. Yang seharusnya bisa berbincang-bincang, jalan-jalan bersama atau hanya sekedar ngobrol. Tapi tidak dengan sekarang. Mamah sudah jauh. Mamah jauh meninggalkan kami sendirian tanpa mamah.
Mah, aku kangen saat mamah minta difoto-foto saat terakhir kita jalan-jalan ke Taman Mini sewaktu bersama keluarga. Difoto itu, mamah terlihat sangat bahagia. Aku senang melihatnya. Disaat aku memegang kamera dan dengan leluasanya Mamah bergaya seperti anak zaman sekarang. Aduh, Mah. Aku masih belum bisa menghapuskan bayangan tersebut. Maafin aku, mah. Maaf!
Pernah sempat, sewaktu ulang tahun mamah yang ke 45. Iya, aku pernah memberikan mamah surprise kecil-kecilan yang ku rancang sendiri. Saat itu tepat tanggal 12 oktober 2012 pukul 16:30. Aku akan memberikan kue ulang tahun sederhana yang dihiasi lilin-lilin kecil disetiap pinggirnya. Dan tepat pada waktunya, Mamah sedang mandi. Setelah menunggu Mamah mandi hampir20 menit, aku pergi keluar rumah untuk menyalakan lilinya, aku sedikit melirik ke dalam. Langsung saja ku nyanyikan lagu selamat ulang tahun, "Happy birthdaaay! Selamat ulang tahun Ratna ucapkan. Selamat ulang tahun..dan blablabla," Dan saat itu, aku tidak mengerti apa arti dari wajahmu. Antara syok, bahagia dan terharu mungkin. Aku memberikan doa yang terbaik untuk, "Mah, selamat ulang tahun. Ratna enggak bisa ngasih apa-apa untuk Mamah. Maafin Ratna jika Ratna belum bisa jadi yang Mamah inginkan. Semoga panjang umur. Dan segala penyakit yang Mamah punya dihilangkan oleh Allah! Amin." Mamah masih memperhatikan kata-kataku sembari meniup lilin ulang tahun Mamah. Setelah itu kita foto-foto. Di dalam foto itu, wajah kita sangat mirip, Mah. Ditambah kita berdua memakai kaca mata.
Tapi, itu adalah kue ulang tahun yang aku berikan untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Karna, tepat tanggal 08 Juli 2013 pukul 19:45 Allah telah memberhentikan nafas Mamah di dunia.
YaAllah, kuatkan aku!
Sudah beribu doa ku lantunkan kepadaNya. Sudah beribu janji yang ku berikan kepadaNya. Tapi tak ada harapan. Mungkin memang jalan takdirmu, Mah.
Masih banyak kenangan yang kau buat bersamaku. Masih banyak memori-memori indah terekam dalam otakku. Entah mengapa otakku terus mengalir dalam memutarkan rekaman itu.
Desir nadi terus berjalan tanpa ku suruh. Menjalankan seluruh saraf-saraf yang menghubungkan otakku.
Masih terasa sangat pekik. Bagaikan pelukan dalam hujan yang deras mengguyur pelantaran jiwa yang kesepian tanpamu.
Ku harap, semua tentang kau akan selalu terkenang. Meski janji, tak menangis jika mengingatnya pernah ku ingkari.
Selamat jalan Mamah. (almh. Ibu Sulastri binti Yotopawiro) Semoga kau tenang disisi Allah SWT.
RIP
Senin, 08 Juli 2013
19.45
L O V E Y O U M O M <3
Friday 15 November 2013
Supir kursi roda
Terdengar suara nyaring sepatu dari hentakan kaki. Pasti itu suara sepatu pantopel milik papah yang akan membawaku untuk kerumah sakit. Sudah kegiatan ku untuk setiap dua hari sekali check-up karena penyakitku yang menurut dokter cukup parah ini.
Hepatitis toksis. Iya, dialah yang menggerogoti setiap daging tubuhku. Dialah yang membuat aku menjadi seperti selembar kertas. Dialah yang menghilangkan setiap mimpiku dalam mengejar sebuah cita-citaku.
Aku ingin menjadi kupu-kupu disana, agar dapat ku kejar setiap jejak ketertinggalanku dalam mengarungi dunia ini.
Aku sedang berkhayal sembari menghadap ke arah taman yang ku desain dengan bantuan papah. Aku menulis setiap perasaanku lewat selembar kertas yang kubuat origami berbentuk burung yang kugantung disetiap dindang kamarku. Sudah berpuluh-puluh bentuk origami disudut dinding yang bercat hijau daun ini dengan tulisan-tulisan entah dari mana mengalir saja dalam otak ku.
"Fira sayang, sudah siap?" tiba-tiba Papa masuk ke dalam kamarku sembari melihat aku yang masih saja menulis. "Sudah berapa banyak karyamu, Fir? Mengapa tak kau tulis dalam format novel saja?" Kata Papah sembari matanya mengelilingi setiap bentuk origami yang ku gantung. "Membuat novel? Ada benarnya juga!" Batinku. Ah, tapi apakah aku sanggup menuliskan cerita-cerita yang entah aku tak pernah merasakan indahnya bermain di luar sana? Bukankah jika menuliskan cerita itu, harus kita rasakan dulu? Sedangkan yang kurasakan hanya berbaringan dikasur, bermain bersama Onyet si kucing persiaku. Atau hanya selalu rutin untuk minum obat? Kurasa, aku takkan sanggup!
"Tidak, Pah! Aku tak punya ahli dalam bidang seperti itu." kataku dan segera berdiri menggantungkan origami tulisanku di dekat jendela.
"Ah, yasudah. Itu terserahmu. Kalau kau ingin katakan saja pada Papah ya, Fir?" Pesan nya demikian, dan aku hanya menggangguk.
Pah, seandainya aku masih bisa seperti remaja lain nya. Masih bisa bermain hingga tak kenal waktu. Bisa jalan-jalan bersama para sahabat, pacar atau orang tuanya. Tapi, itu semua tak dapat ku lakukan, Pah. Apalagi, semenjak Papah bercerai dengan Mamah. Semenjak saat itu, aku tak punya harapan sekecil apapun itu dan setelah penyakit yang menggrogoti tubuhku ini. Batinku.
"Yaudah, kita langsung kerumah sakit yuk. Dokter Sisi sudah menunggu kita." Ucap Papah langsung membantuku berjalan dengan rangkulan ditangan nya. Tuh, jalan sedekat ini saja aku harus ada yang membantu. Bagaimana aku bisa hidup lebih lama?
Dibukakan pintu mobil sedan milik Papah. "Pelan-pelan sayang." kata beliau sembari melepaskan rangkulan tanganku dari pundaknya. Akhirnya, aku telah duduk rapih di bangku paling depan sembari kunyalakan iPad yang ku letakan dibangku belakang. Dengan jalan perlahan sembari ku lantunkan doa. Kami berangkat.
Aku masih asyik dengan lagu yang ku putar ini. "Pah, sebenarnya Papah jenuh tidak selalu merawatku? Papah tidak bosan selalu membawaku kerumah sakit?" tanyaku pada beliau.
Tuhan.. Jika yang terbaik itu tidak akan bertahan lama lebih baik lepaskan semuanya.
"Kenapa kamu menanya seperti itu, sayang? Papah tidak akan bosan merawatmu. Papah takkan jenuh menjagamu. Karna hanya kamu satu-satunya harta Papah yang paling berharga, sayang. Maka dari itu, kamu harus semangat melawan setiap penyakitmu itu. Kamu tak kasihan dengan tubuhmu? Coba kamu perhatikan? Kamu sudah sangat beda daripada sewaktu kamu masih SMA, sayang," Ujarnya dengan mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
Aku langsung saja melihat kaca yang berada ditengah atas antara kita. Ternyata benar, pipiku saja semakin tirus. Memang, aku sudah hampir sebulan ini kurang untuk melahap dengan nafsuku saat makan. Hanya saja, 1 piring yang disendukkan ke aku, baru 3senduk aku sudah minta berhenti. Ya... Karena kurasa memang aku sudah kenyang.
Entahlah... Aku hanya pasrah dan ikhlas kalau memang jalan takdir ku di dunia ini seperti itu. Aku yakin, ini adalah sesuatu yang terbaik yang Tuhan berikan untukku. Aku harus mempercayai takdir agar aku takkan tersesat dijalanNya.
"Yuk, kita sudah sampai." Papah mengagetkan ku yang sedang melamun memikirkan bagaimana takdir itu terus kulalui. Apakah semua takdir; termasuk aku selalu dibawa kerumah sakit ini akan sia-sia? Entahlah, hanya Tuhan yang mengetahuinya. Ku jalankan semua takdirku sesuai dengan jalanNya.
"Dek, tolong dong!" Seru Papah setengah berteriak kepada sosok lelaki berwajah tampan nan manis itu. Dialah, supir dari kursi roda untuk orang-orang yang tak kuat berdiri seperti aku.
Lelaki itu langsung menghampiriku, setengah berlari dan membantuku untuk duduk di kursi roda ini. "Tolong antarkan dulu putri saya ke dokter Sisi ya! Adik tahu kan?" kata Papah menyuruh lelaki itu sembari memberikan uang tip yang entah berapa Papah mengasihnya. Dan yang diajak berbicarapun mengangguk sembari melengkungkan bibirnya. Pertanda ia sedang tersenyum.
Biasanya yang membawaku ke ruangan dokter Sisi yaitu Pak Bayu. Tapi mengapa malah lelaki ini? Apakah dia telah menggantikannya? Ah! Sudahlah.
Ku lihat Papah telah masuk kembali kedalam mobil sedan hitam metaliknya. Dan segera mendarat dengan apik keparkiran yang tak jauh dari tempat aku duduk dikursi roda ini. "Yuk, nona. Saya antarkan ke ruangan dokter sisi," kata lelaki yang menyupiri aku dikursi roda ini.
Langsung saja aku dibawanya menuju ruangan dokter sisi yang memang masih berada dilantai satu. Dengan perlahan, ia berjalan melewati ramainya pengunjung rumah sakit ini. Banyak yang mengantre diloket pendaftaran. Hampir 3 baris orang-orang yang mengantre tersebut.
Aku hanya terdiam memandang ke arah depan. "Kamu baru ya?" tanyaku kepada lelaki itu. "Ah tidak! Aku hanya menggantikan Ayah yang sedang sakit dirumah," wah! Anak yang berbakti sekali. Aku sedikit takjub mendengarnya.
"Sudah sampai, Non." Katanya dan aku melihat sekeliling ruangan ini. Sepi. Hanya bisa terhitung memakai jari. Ku lihat papan berwarna hitam yang kira-kira berukuran 30x15 itu. Dr. Sisi Raymon Haikal. Aku mengangguk-anggukan kepala.
Setelah ku lihat ke arah kanan ku; dimana tempat lelaki itu berdiri. "Hei, jangan tinggalkan aku dulu," Aku sedikit berterik kepada lelaki itu. Ternyata dia pergi tanpa pamit.
Ku pegang roda dikursi ini dan ku hampiri lelaki itu. "Kamu tega sekali! Tidak lihat suasana sekitar? Tega ya, meninggalkan wanita penyakitan di tempat sepi seperti ini? Temaniku dulu hingga Papah datang," Ujarku kepadanya yang masih melihat tanganku yang berada pada lengannya. Uh! Aku tak sadar, jika aku menggapai tangannya. Ku kira tadi aku hanya memegang sebatas bajunya yang agak loggar itu.
"Maaf... Temani sebentar ya," Ucapku merengek seperti bak anak balita jika ingin bermain ditaman wisata.
Dia hanya mengangguk. Dan langsung saja duduk dikursi panjang ruang tunggu. "Maaf jika merepotkanmu.." Aku membenarkan letak posisi kursi roda menjadi lawan arah.
"Siapa namamu?" Aku bertanya lagi. "Adit," dia membuat lengkungan dibibirnya kepadaku. Senyuman yang indah. Manis. Persis seperti wajahnya. Ah! Entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari wajahnya.
"Itu, Papah Non datang. Saya pergi ya, Non!" Katanya dan langsung siap sedia untuk berdiri dari tempat kami duduki.
Ku dengar dia sedikit berbicara kepada Papah. Dan tiba-tiba saja dia menunjuk kearah ku dengan meninggalkan sebuah senyuman termanisnya. Ah! Tenang sekali perasaan ini.
"Sayang, kenapa senyum-senyum seperti itu?" Papah tiba-tiba mengngagetkan ku dengan pertanyaannya yang entah harus ku jawab apa. "Eh Papah, ah eng.. Enggak Pah," Aku berbohong. Tetapi sudah ku akui kalau Papah mengerti jika aku berbohong seperti itu. Buktinya Papah menyolek pipiku yang sudah seperti buah tomat.
Aku langsung didorongnya menuju ruangan.
***
Saturday 9 November 2013
Titipan kenangan
Wednesday 11 September 2013
Tanpa dirimu
Ketika semua tanpa dirimu. Yang kurasakan sangat sulit bagiku. Biasanya diwaktu senggang seperti ini kita tertawa bersama, menertawakan hal-hal yang dari lucu dari apapun itu. Aku merindukan super heroku. Semua kebiasaannya. Sentuhan termanisnya. Sentuhan hanya darinya. Candaanya. Kemarahannya pun aku merindu. Tak biasa seperti ini. Tak biasa tanpamu. Bisakah ku hidup dalam balutan kesakitan mu yang selalu terbayang dalam memori otak ku yang tidak cukup menampung ribuan ingatan? Ajari aku caranya menghilangkan semua balutan kesakitanmu dalam memoriku ini. Ini cukup menyakitan bagiku. Semakin aku belum bisa meralakan mu. Maaf tidak bermaksud begitu. Aku sayang padamu. Aku mencintaimu. Tolong ajariku untuk itu. Untuk mengikhlaskanmu dengan keteguhan ku. Aku harus bisa hidup tanpamu. Harus bisa! Semacam apapun itu yang akan mengganggu disetiap hidupku yang mungkin terlalu terabaikan olehku. Bantu aku untuk menjadi lebih baik dan terbaik dimata siapapun yang mengenal ku. Ya, sekali lagi ku teguhkan. Aku harus bisa tanpamu, aku sayang kamu. Aku mencintaimu, mamah:')
Wednesday 21 August 2013
Ngilu dihati
Deg! Jantungku seketika berhenti. Entah apa yang membuat diriku seperti layaknya patung. Dirimu kah yang buat aku seperti ini? Kurasa tidak. Aku sudah melepaskan mu sepenuhnya. Tapi mengapa saat bertemu padamu hari ini terasa berat. Mungkin kah rindu padamu yang membuat serpihan itu kembali merontok?
Rasa itu hadir kembali. Dimana seongak rasa ngilu didada. Rasa yang tak bisa diungkapkan oleh ribuan bahkan berpuluh milyar kata. Hanya itu!
Banyak pertanyaan dihati ini yang belum terjawab. Banyak rasa dihati yang sudah lebih dulu mengetahui setiap pertanyaan tersebut.
Hatiku sudah kembali rapuh disaat mengingatmu. Mengingat senyuman maut mu. Mengingat khas canda tawamu. Dan sampai aku selalu ingat setiap detail kata yang kau curahkan lewat angin malam terhadap ku dulu. Kini akankah semuanya dapat terukir kembali?
Hanya Tuhan yang mengetahui semuanya. Tidak semua keinginan kita terpenuhi oleh Allah. Tapi kehendak-Nya adalah yang terbaik buat kita dari-Nya.
Ya, aku percaya akan hal itu. Pasti percaya! Hanya sabar saja kunci meraihnya...
Saturday 17 August 2013
Dekapan nya
Dekapan nya penuh dengan rasa sayang. Setiap aku melihat dia, ada ketenangan di mata sayu itu. Kami bercanda. Kami tertawa. Setiap bertemu ada senyum dipelapuk bibir tebalnya itu.
Bermula dari candaan seorang teman. Yang menyuruhnya untuk mendekap agar dapat melihat seberapa besarnya diriku. Lalu aku didekapnya. Ku fikir dia bercanda. Tapi dekapan itu seolah-olah slow motion yang dibuat-buat. Ku renggangkan pelukan dari belakang nya, tapi bukan nya terlepas malah semakin tak ingin melepas.
Deru nafasnya terdengar di kupingku. Walau ku tahu dia tak terlalu wangi akibat pengorbanan dia yang telah mencari nafkah untuk hidupnya. Tapi aku merasakan aroma lain dalam tubuhnya.
Aku merasakan bahagia. Pertama kali merasakan dekapan yang begitu melambung. Aku bagaikan ada disebuah film romantis kala itu. Dengan seluruh kenjantan dia pada saat memelukku. Terlihat dari setiap urat nadi yang keluar dari sarangnya yang menandakan dia pekerja keras.
Padahal ku tahu, dia bukan siapa-siapa dimataku. Hanya sebatas adik-kakak kenal 3bulan. Tapi setelah kejadian ini, pasti aku merasakan suatu keganjalan-ganjalan disetiap aku mengingatnya.
Ya! Pasti aku akan merasakan sebuah kerinduan. Kerinduan akan sebuah dekapan manisnya.
Perkenalan seorang gue
Gue alhamdulillah masih sekolah. Masih semangat! Walau udah menjelang detik2 tahun terakhir sekolah. Ya! bener banget! gue kelas 12 Smk. Sekolah gue terpelosok. Kalau yang tau daerah Jakut, mungkin pada tahu. Haha. Nama sekolah gue Smkn 49 jakarta. Sekolah yang cuma cakep dihalaman karna bnyak pohon tanpa isi dri mksd sekolahnya.
Gue orang Jakarta. Tinggal dengan keluarga yang kurang utuh, karna gue udah ditinggal nyokap untuk mempersiapkan surga buat kita. (baca;keluarga). Beliau punya penyakit, menurut gue yang entah kenapa itu datangnya tiba2, gue aja sampe ga percaya. Ya, namanya takdir mah gada yang tahu selain Allah kan? Gue sayang banget sama beliau. Gue emang bisa dibilang anak mami. Karna kemana2 gue selalu sama nyokap. Sempet nge drop, waktu tahu nyokap dibilang udah gada. Tapi karna gue udah janji sama beliau "dalam keadaan apapun gue ga boleh nangis. Gue harus berdoa" gitu, makanya gue-keliatan-strong! Dan alhamdulillah banget gue punya kakak yang sayang banget sama gue. Sayangnya dia gausah pake pertanyaan, dan gausah dibanyangkan oleh kata2. Gue bersyukur punya kakak seperti dia. Temen gue aja sampe iri kalo lihat kakak gue merhatiin gue hehe
Gue suka sastra. Karna hobi gue yang ngarang gini. Sampe ngarang tentang kebohongan sering. *Janganbilang2ya* Haha
Punya khayalan buat jadi mahasiswi disebuah univ ternama. Amin! Ya pen banget. Gamuluk2. Di Ugm aja gue udah bahagia banget. Gue cinta banget sama Jogja. Entah kenapa? Padahal orang2 lebih Bali daripada Jogja. Mungkin, karna bokap orang Jogja kali ya? hehe
Udah dulu ya. Kalo mau lebih kenal gue. Kenalan aja. Gue orangnya welcome kok. hehe add fb gue; ratna susantyningsih. follow twitter gue; @ratnasss atau cari pake full name ratna susantyningsih kalau mau lebih dekat SMS aja di no; 08989076817
Salam kenal;)
Kembalikan serpihan itu!
Aku tidak paham perasaan apa yang hinggap di dinding hatiku yang masih belum rampung tersusun kebagian-bagian nya. Ada serpihan-serpihan kecil yang sengaja kau pecahkan sehingga aku kehilangan arah untuk mencarinya, karna serpihan itu aku jadi sulit untuk pergi darimu. Dan sulit pula untuk meminta serpihan itu yang sengaja kau simpan untuk mempermainkan perasaanku yang sangat menyayangi sosok pria kerdil seperti dirimu.
Aku tak bisa lepas dari setiap kabut bayangan mu yang kau kebul kan lewat pikiran ku yang entah mengapa semua itu sangat sulit hilang. Memori tentang kau sangat besar. Sehingga aku terpantau sulit untuk menghapusnya satu persatu.
Kau pergi tinggalkan aku disini sendiri dengan setiap genggaman khayal ku yang menjadikan semua itu sebuah pedoman yang teramat penting bagiku. Layaknya sebuah pisau tajam yang kau iriskan ke urat nadi ku perlahan. Akankah aku mati sekarang?
Semua itu sudah terjadi. Aku sudah menyayangimu dalam kurung waktu yang sangat cukup lama. Empat tahun! Bukan kah itu lama? Kalau itu seorang balita, dia sudah terbiasa lari kesana kemari. Kayak kamu yang terus berlarian diotak kanan dan kiriku.
Aku tak percaya. Dalam empat tahun ini, apakah kau tak merasa? Dimana arah kepekaan mu? Oh salah! Tepatnya dimana hati mu?
Kita cukup dekat lho. Akankah kedekatan kita tidak kau rasakan kalau ada getaran-getaran yang cukup kuat jika kita berdua. Jika aku jadi teman setia mendengar keluh kesah mu. Disaat kita bersenggama lewat aliran telpon. Setiap malam, tanpa absen kau selalu menelpon ku. Kurasa kenangan waktu kita yang paling selalu mengenang rasa sakit ya hanya malam hari. Disaat yang lain merasakan mimpi-mimpi indah dengan pujaan atau bahkan dengan keinginan nya, tapi kita malah selalu berbicara sampai kehabisan kata, sampai-sampai kita berbicara lewat pesan singkat dan yang kenyataanya kita sedang bertelpon.
Kau yang mengajari aku tentang malam. Kau yang memberi kenangan tentang malam. Dan kau yang memperhatikan ku lewat malam. Ya, malam hari.
Ah! tapi sudahlah. Kurasa malam ku kelabu. Semakin gelap. Tanpa cahaya. Semakin tak terlihat. Dimakan asa!
Kau pergi tanpa pamit. Kau pergi tanpa salam. Tak pernah di ajarkan sopan santun ya? Cukup sakit jika aku mengenang tentang ini. Cukup sakit kau gantungkan ku seperti jemuran yang sering ku lihat di depan teras rumah mu. Sakit nya sangat perih. Kalau pria yang ku idolakan keberadaan nya ternyata hanyalah semu. Kau semu terhadap cinta yang sudah ku dapatkan ini. Dari kamu! Untuk kamu! Bukan aku!
Aku hanya meminta darimu. Tolong kembalikan sisa-sisa puzzle yang kau hilangkan dari hatiku. Itu teramat penting untuk ku. Tanpa kelengkapan hati itu, aku takkan bisa menyayangi pria lain seperti kamu.
Wednesday 14 August 2013
Wanita Mawar Merah
Rintik hujan akan mengguyurkan bumi kembali, setelah sudah berminggu-minggu ia berjatuhan menemani diri ini. Tepat saat aku menampakkan langkah untuk pulang ke rumah gubuk ku. Air bumi pun tumpah. Aku memang suka hujan. Sangat suka. Air yang turun dapat memancarkan kedamaian dalam hidup.
Aku melangkah menjauh dari toko buku yang sering ku jelajahi nauangan nya. Setiap siang hingga senja seperti ini keseharian ku lewati. "Sosok pria yang tak terlalu tampan namun manis dengan lensa dimatanya." Begitu kata seorang yang telah meninggalkan ku untuk selamanya. Iya, dia sahabat kecil ku. Namanya Geya. Dia meninggalkan ku karena kecelakaan motor yang merenggut nyawanya. Dia baik, perhatian dan pokoknya semua sifat positif ada dalam dirinya.
Dua tahun yang lalu. Iya, Geya meninggalkan ku dua tahun yang lalu saat Ayah nya menikah lagi. Aku simpati dengan keluarganya. Padahal, dia baik. Sungguh baik. Tapi kebaikan tidak pada orang tuanya. Ayah yang seorang pemimpin perusahaan membuat dia beliau menjadi seorang yang sering pulang pagi. Entah sebutan apa untuk Ayah yang seperti itu. Sampai Geya kesal. Dan dia sangat marah saat itu. Kecelakaan yang dia alami dikarenakan nya.
Oke, balik ke diriku.
Aku seorang pria yang hanya mempunyai bakat kecerdasaan. Kecerdasaan ini yang membuat aku diterima disalah satu Universitas jauh dari negara ku dilahirkan. Iya, aku seorang mahasiswa dari Universitas Harvard. Universitas swasta yang berlokasikan di Cambridge, Massachusetts, United States. Aku tak meduga. Awalnya aku hanya mencoba-coba mengisi berbagai macam kotak-kotak yang telah disediakan dalam suatu website yang aku kunjungi. Dan selesai ku isi lengkap dan memberikan persyaratan apa saja yang harus diserahkan.
Rasanya aku seperti sehelai kapas. Aku bisa terbang jika ditiup angin. Dengan raga yang masih dibawa alam sadarku. Aku berteriak sedemikian kencang. "Terima kasih, yaAllah. Kubersyukur kepadamu," kataku dan langusung ku bersujud dengan sepenuh hati kepada sang pencipta yang telah meridhoi sesuatu yang setidaknya diinginkan oleh umatnya.
Dan seperti ini aku sekarang, seorang mahasiswa dengan ahli dalam ilmu sosial. Aku tinggal sendiri dengan segubuk apartement yang ku sewa dengan dibantu oleh perusahaan yang memperkerjakanku.
Kudongkakkan kepalaku ke langit. Berterima kasih kepada sang khalik dari seluruh isi dunia. Iya, hujan yang membasahi bumi tempat ku berpijak telah berhenti. Ku berjalan pelan sembari hati-hati terhadap air bening yang telah menggenang, ya seperti air mataku yang terbiasa merindukan sosok bidadari kecil ku yang menggenang di daerah pelupuk mata agak sipit ini
Saat dingin menusuk kelabu seperti ini, biasanya aku mengenang dia kembali. Mengenang saat-saat terindah kita. Seperti saat kita hujan-hujan kayak yang sedang ku lakukan sendiri tanpamu. Ada segengam guratan wajahmu dalam genang air yang pada saat ini, ku langkahi. Ya, wajah imut dengan poni agak sedikit menutupi mata indah mu. Senyum yang kau berikan, yang selalu kau lambungkan itu mampu meyakinkanku kalau kau baik-baik disana. Dan hanya segulat rasa rindu yang dapat ku petik saat ini.
Aku sedikit lelah untuk menelusuri setiap jalan-jalan yang ku lewati saat ini. Disaat senja ini, pasti ruang lingkup jalan dipenuhi oleh segrombrolan orang yang terburu-buru untuk sampai ke rumahnya masing-masing. Mengapa harus terburu-buru? Apakah rumahnya akan hilang jika terburu-buru seperti itu?
Ku langkahkan kaki ku untuk terus menulusuri jalanan yang sudah dihuni oleh umat manusia yang tinggi seperti itu. Perlahan tapi pasti. Saat aku ingin berbelok kearah perumahan--yang termasuk jalur alternatif ketika aku kehabisan ongkos untuk pulang--aku melihat sebuah kios. Tapi, seperti sebuah kios baru. Iya, karna memang aku baru melihatnya. Ku hampiri kios tersebut. Tak sengaja ku lihat plang yang membuat ku mendongkak kaget. "Florist-Penjual Kenangan" Bukan terkejut karena tulisan tersebut Bahasa Indonesia tapi dengan 'Penjual Kenangan'-nya tersebut.
"Want to buy flower?" Tanya penjual bunga tersebut. Subhanallah.. Cantiknya. Di negara yang kritis dengan agama Islam ternyata ada juga wanita cantik dengan balutan jilbab bermotif bunga yang menutupi kepalanya yang kecil. "No. I just wanted to ask, what is the purpose of "Penjual Kenangan"?" Aku menjawab dengan sebuah pertanyaan juga. Dia agak sedikit bingung dengan pertanyaanku. Mungkin, dia berfikir.. 'Kenapa ada orang yang bertanya bukan dengan apa yang dia jual, tetapi malah bertanya tentang nama kios yang digelarnya'. Ah noprob! Just think. Batinku.
Dia beringsut meninggalkan ku ke dalam kios nya. Ada perasaan yang sedikit mengganjal dalam benak ku. Entah perasaan apa. Tapi, jika dilihat-lihat wanita ini mirip dengan Geya--sahabat kecilku dulu--tanpa jilbabnya.
Akhirnya, aku berfikir untuk kembali lagi esok hari. Setelah pulang kuliah. Dan ku lanjutkan berjalan agak dipercepat karna aku sedikit telat untuk sampai rumah.
***
Senja telah melewati tugasnya untuk memperindah bumi dengan matahari yang telah ditelan oleh bumi yang semakin hari semakin padat penduduknya. Tepat kudengar adzan maghrib menggema melalui telepon genggamku, aku telah sampai depan kamar apartement. Dengan lunglai, berbegegas ku memasuki kamar mandi, lalu ku tunaikan sholat maghrib kewajibanku.
Didalam sujudku, aku meminta kepada-Nya agar diberikan nafas yang panjang agar aku dapat selalu melihat indahnya dunia yang sedang ku sewa saat ini menuju pintu akheratnya. Dan tak lupa selalu ku doakan orang tua yang selama ini menuntun langkah hidupku menuju kebaikan. Tapi, tiba-tiba aku tersontak karna aku mengucapkan seseorang yang akan kujadikan tuntunan imamku. Entah apa maksudnya itu. Akupun tak mengerti.
Senja telah berganti malam. Ku lihat bulan sabit telah mentereng di langit gelap itu. Terima kasih ya Allah, ciptaan mu sungguh indah. Aku berbicara dalam hati mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Tapi, bulan itu tidak sendiri. Ia ditemani oleh sebuang bintang yang paling menawan bertengger disampingnya. Romantis. Bulan dan bintang saja berpasangan. Kok aku tidak?
"Ah! Apasih..." kataku sembari mengibaskan tangan ke udara. Aku melupakan perkataan ku yang membuat ku berfikir panjang dan langsung bergegas ke dapur. Kubuat kopi hangat tuk menemani dingin nya udara negara Amerika nan megah ini dicampuri sedikit caramel di dalam nya. "hmm, wangi sekali.." ku seruput kopi tersebut dan tanpa ku sadari telepon genggam ku bergetar lama di atas bufet tempat aku menaruhnya.
"Hallo.."
"..."
"What is it?"
"..."
"Oh. Yeah, I'll be there"
Klik. Telepon pun terputus. Baru saja ku mendapatkan sebuah panggilan. Sepertinya sedikit penting. Karna ini terdapat pada pekerjaanku. Iya, aku kerja dibagian sebuah kantor penting dari negara Amerika ini. Memang, aku bekerja jika diperlukan saja. Entah mengapa begitu? Aneh kan? Aku yang melaksanakan saja terlihat aneh.
Ku ambil jaket ku yang ku gantung di belakang pintu apartement. Dan langsung mendarat menuju kantor tempatku bekerja. Untung saja, aku masih memakai celana bahan yang belum ku ganti tadi.
Setelah sampai kantor, ku tanya Dave yang tadi menelpon ku. "What's wrong?" tanyaku. Nasib Dave sama denganku. Bedanya, asal dia bukan Indonesia melainkan Turki. "It's just that, emm.. there is someone who is looking for you." Katanya demikian. Aku kesal dengan nya, ku kira ada sesuatu pekerjaan yang salah pada diriku. "Who?" tanyaku kembali. "Aku," ku lihat seorang wanita yang berada dibelakang Dave yang bertubuh besar itu. "Orang Indonesia?" tanyaku kepada wanita yang berambut panjang bak seorang artis tersebut. Kalau dilihat wajahnya seperti Bunga. Iya, BCL tapi versi agak bule.
"Asli Indonesia. Tapi menetap di Amerika," Ucapnya sembari duduk yang disediakan di depan receptionist megah ini. "Lantas, ada apa?" tanyaku langsung. Karna hari ini aku tampak lelah. Lelah berlarian dalam fikiran-fikiran yang akhir-akhir menggangguku. "Tidak apa-apa. Hanya ingin kenal." Katanya enteng. Astagfirulloh... Dengan cepat aku kemari. Hanya ini yang ku dapatkan. "Oke. Ini kartu namaku. Maaf, jika tidak keperluan lagi. Aku ingin segera pulang," kataku dan langsung saja pergi meninggalkan. Untung saja, ku dapati taxi yang setia di depan kantor. "Oke. Terima kasih, Re-Mi..." dan aku hanya melambaikan tangan.
***
Ku dengar alarm telepon genggamku berbunyi nyaring. Dan ku terbangun dari indahnya mimpi yang ku lewati saat aku tak sadar seperti ini. "Duh, cepet banget sih paginya. Mimpinya berhenti deh.." aku menggerutu sendiri.
Ku lewati lorong sempit nan gelap ini untuk menuntun jalan ku ke arah dapur. Ya, kebiasaanku kalau setelah bangun tidur. Entah mimpi-mimpi yang ku lewati selalu mengambil jatah air dalam tubuhku ini.
Matahari telah menyapa manusia dibumi dengan sinarnya yang menggema dipelantaran langit Amerika ini. Sudah pukul 8 pagi, setelah sarapan aku langsung bergegas menuju tempat perkulihan. tempat dimana aku meraih mimpi ku.
Telah sampai aku disebuah gedung bertingkat nan tinggi ini. sudah banyak beragam pasang mata yang telah datang menghampiri gedung ini. "Hai, Remi?" Terdengar suara seorang menyapaku.