Dreamer!

Friday 31 January 2014

Izinkan aku memiliki kesempatan itu lagi part 2

Semua terasa begitu cepat. Sudah hampir sebulan aku bersama-samanya. Ternyata berkasih dengannya tidak seperti yang aku bayangkan. Kami selalu bercanda gurau setiap saatnya. Tak kan pernah bosan. Aku pun bersyukur sekali bisa dipertemukan dengannya.
Saat ini langit sedang bersahabat. Berarti saatnya aku mengadukan semua ini dengan orang yang sudah melewati angin yang sering ku pandangi itu. Remi. Iya, dia orangnya. Padahal dia sendiri bilang... tugasnya udah selesai untuk menjagaku, tapi aku masih tak percaya. Aku masih merasakan kalau dia masih bersama-sama ku. Masih mengawasiku. Iya aku masih merasakan semua itu.
dreeet..dreeett..dreeet.. handphone ku bergetar hebat. Langsung ku sambar handphone ku yang sedari tadi ku geletakan di kasur manisku. Ternyata SMS dari Dimas. Menanyakan aku sedang apa. Langsung saja ku jawab dengan meneleponnya.
"Hallo, dear. lagi apa?" Aku langsung menyapanya terlebih dahulu
"Lagi kangen sama kamu nih.. hehehe."
"Kan tadi disekolah ketemu mulu, masa sih udah kangen lagi?"

Menyayangi kamu dalam khayalan

Hari sabtu. Ya, hari-hari yang ku tunggu setelah 5hari kulewati dengan menuntut ilmu. Hari sabtu yang begitu syahdu bagai dialam mimpi yang panjang. Tak ada yang mengganggu, tak ada suara apapun selain kipas angin yang mengudarakan aliran udara. Mimpi-mimpi telah kulewati, saat tiba aku terbangun pukul 10 pagi. "Aduh, perawan jam segini baru bangun," ucap Papah saat aku menuruni anak tangga yang agak curam sembari membenarkan ikatan rambut ku yang entah sudah tak menarik dipandang.

"Kayak enggak pernah lihat Rana bangun jam segini saja, Pah." Jawabku sembari mendekatinya yang sedang berada didapur untuk memasak. Papah adalah orang tua satu-satunya yang ku punya. Selama Mamah telah tiada, Papahlah yang merangkap menjadi Ibu rumah tangga juga. "Masak apa, Pah?" Tanyaku saat Papah sedang sibuk menabur bumbu ke masakan nya. Ah! Capcai. Iya, Papah paling jago kalo masak capcai. Sangking jago nya hampir setiap hari beliau membuat itu. Tidak apalah! Aku terima, daripada aku tak makan.

"Mandi gih sana!" Papah menyuruhku membersihkan badan yang mungkin wanginya sudah tak karuan karena memang kemarin sore aku tak mandi. Hehe. Maklum lah, terlalu sibuk! Dan mumpung ini libur lebih baik aku berendam di bath up!

***

Setelah hampir 2 jam aku mengurung diri dikamar mandi. Aku berniat menyelesaikan cerita tulisan tanganku yang ku simpan di document laptop. Tapi, terdengar suara handphone ku yang berbunyi. Ada BBM masuk. Dan akhirnya ku urungkan niat ku untuk melanjutkan tulisan tanganku itu.

Utamara Relbyan. Dia siapa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sempat ingin melihat display picture nya lagi-lagi di PING aku! Tak sabar an. Aku menggrutu. Akhirnya ku balas, "Ya?" hanya itu. Dan ku letakkan kembali BB ku dipangkuan meja tempat bingkai-bingkai foto terpampang manis dengan wajah-wajah masa lalu.

Aku pergi keluar. Menghampiri Papah yang sedang asyik dengan camilan nya sembari menonton tv. Aku sudah duga, pasti beliau menonton acara itu lagi. Laptop si Unyil. Acara kegemaran nya. Entahlah, beliau memang paling suka acara tv yang memberi pengetahuan seperti itu.

"Makan dulu sana, dek!" Suruh papah saat aku baru saja mendaratkan bokongku dengan mulus disofa. "Nanti, Pah. Oiya, Mas Awan kemana?" Tanyaku menanyakan Kakak yang paling perhatian kepadaku. Aku punya 2 kakak dan semuanya laki-laki. Sayangnya, aku tak punya adik. Padahal, aku sempat iri dengan teman-teman yang memiliki adik untuk bisa diajak kemana-mana.

"Lagi beli terpal buat mobil," Jawabnya masih serius dengan camilannya. "Lho, memang yang kemarin kemana?" Tanyaku kembali. "Sobek," Aku hanya menganggukan kepala dan berOoh saja.
"Papah sudah makan?" Tanyaku. "Sudah, barusan." Jawabnya sambil berganti kegiatan. Dia sedang mengotak-atikan handphone nya. Pasti error lagi! Hahaha aku menertawakannya. "Error lagi?" Dia hanya mengangkat bahunya sembari menaikan raut muka pertanda dia sudah jenuh. Aku langsung pergi ke dapur agar tak ada suruhan dari Papah. Hehehe....

"Aku makan dikamar ya, Pah." Teriakan ku sangat kencang hingga membangunkan kucing ku yang sedang tertidur. Ku nyalakan tivi dikamar dan ku duduk bersandar diantara tempat tidurku.

Wednesday 1 January 2014

Pendamping Hidupku


Aku tidak mengerti dengan semua perasaan yang saat ini sedang ku rasakan. Aku tidak mengerti. Dari semua yang sudah terjadi, yang hampir saja aku lupakan. Mengapa kau hadir membawa sejuta senyuman itu lagi. Sudah susah payah, aku melupakan sebuah kenangan. Kenangan pertama kali kita bertemu, hingga terakhir kali kau tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi.

Kau datang memberi salam yang kau buat selayaknya tak punya rasa salah sama sekali. Dengan senyum yang merekah lebar dalam bibir tipismu itu. Untuk apa kau datang kembali? Untuk apa?

Ribuan jejak sudah ku jalani demi mencarimu. Demi kamu. Orang yang sejak lalu terspesial dihati ini. Tapi, hanya senyum tak punya salah yang kau lontarkan ketempat ini lagi. Dengan membawa sejuta kenangan kau tancapkan rasa itu didalam hati ini lagi? Sudah tahu keluar dari dalam hati mu itu sulit. Kau tak memberikan celah sedikitpun untuk keluar dari hatimu itu. Aku tidak kuat melawan setiap orang yang sudah kau masukan kedalam hatimu itu. Tidak kuat. Banyak orang yang menginginkan mu tapi mengapa kamu masih sibuk mencari-cari wanita lain untuk menjadi pendamping mu. 

Sakit rasanya, kalau aku terus saja menyalahkan setiap perkataan yang selalu menasehatimu tentang susah payah mencari pendamping hidup. Oke! Memang. Memang aku mencintaimu. Tapi aku tidak ingin merusak persahabatan yang sudah kita jalani semanjak kita pertama kali bertemu—5SD—itu.  
Aku tidak akan menyakitimu, sekalipun itu dengan ketidak sengajaanku. Aku tidak ingin jauh-jauh darimu. Aku nyaman dengan kamu. Maka dari itu, aku kuat bertahan tidak memberitahukan mu tentang rasa yang sudah ku pendam sejak lama ini. 
Aku menayakan perihal kedatanganmu lagi ke tempat ini. Ketempat sering kita bermain bersama. “Ada apa balik lagi? Bukankah sudah puas ditempat yang kata mu itu nyaman?” Aku berbicara ketus. Seketus hatiku sekarang ini. Ku lihat raut wajah mu, kau tampak sedikit berbeda. Iya, berubah menjadi sedih. “Maaf. Maafkan aku!” serunya sembari duduk disampingku yang berada dialam bebas ini. Ya. Tempat bermain kami biasanya pantai parangtritis. Tempat kami pertama bertemu. “Mengapa harus meminta maaf. Tidak ada yang salah kok,” kataku masih ketus sembari membiarkan dia terus mendekatiku dan aku menolak.
“Iya, aku tahu. Kesalahan memang padaku. Tapi, sungguh ku kira orang yang selama ini ku ceritakan padamu itu adalah memang benar-benar yang terakhir. Kenyamanan lah yang ku cari dalam memilih pendamping hidup. Tidak yang neko-neko…” Jawabnya lalu tetap saja mendekatiku. Dan lagi-lagi ia menggelitikkan pinggangku. Pinggangku adalah anggota badan yang paling sensitive jika disentuh. Entah mengapa. Akupun tidak mengerti.
“Tidak usah pegang pinggang, bisa?” aku makin ketus. Sebenarnya ingin tertawa kalau sudah seperti ini. Tapi aku tak mau. Biarkan saja. Rasa sakit ku toh belum terobati. “Iya, maaf!” Kata itu yang terus saja ia ucapkan padaku. Ah aku bosan. “Aku ingin pulang,” sembari ku berdiri kulangkahkan kaki pelan-pelan menuju rumah yang tidak jauh dari Pantai ini.
Lelah rasanya. Sudah lebih dari  dua minggu aku menangisinya. Menangisi kepergiannya yang katanya ingin mendapatkan pendamping hidup di pusat Ibu kota sana. Yah, mau bagaimana lagi? Itu keputusan yang sudah ia rancang. Percuma saja aku menasehati panjang lebar. Percuma, omonganku hanya dianggap angin sesaat saja.
Tapi mengapa sih ia kembali? Dua minggu bukan waktu yang cepat lho.Dua minggu seharusnya aku melakukan hal yang mungkin tidak sia-sia selain mencari kamu, tapi ini? Kenyataannya aku menunggu, mencari dan alhasil kamu yang mendatangkan aku. Sudahlah. Seterah kamu saja! Aku lelah terus-terusan membatin seperti ini.
***
Esok harinya, menjelang maghrib...
Matahari telah pergi menenggelamkan jiwanya untuk segera beristirahat. Meninggalkan semua makhluk di bumi untuk menyaksikan sinarnya rembulan yang menawan. Sunset! Iya, itu dia yang aku suka. Tepat aku di pantai selatan Jogja ini, aku duduk termenung. Menyesaati setiap kenangan. Ah! Aku bosan, kenangan lagi. Kenangan lagi. 
Akan ku ganti topiknya. Iya, aku sedang menyesati setiap hatiku yang mulai tipis karena tergoreskan setiap ketidakpastianmu. Hidupku seperti tak berguna setiap kegalauan melanda jiwaku. Jiiwaku serasa goyah diterpa setiap ingatan lalu.
Ombak besar menerpaku. Memberi salam padaku. Dan ia bawakan sebuah batu besar ukuran genggaman tangan, apa maksudnya? Ah sudahlah. Lebih baik ku buang. “Aku pastikan batu ini akan kembali menuju tempatnya semula, jangan kembali jika hanya untuk sementara. Seperti aku dan dia.” Kataku dalam hati. Dan aku lemparkan batu itu jauh-jauh menuju lautan bebas. Menuju tempat dia berada. Ahhhh! Ku tarikan nafasku lamat-lamat. Dan aku pergi meninggalkan sebuah kenangan yang mendalam disini.

Ombak besar lagi-lagi mengguyurkan angin yang berhembus. Membuatku untuk menengok ke arah belakang kembali. Lho? Batu itu? Kenapa batu itu datang kembali? Seharusnya batu itu sudah lepas dari jeratan ombak. Hah? Biarlah.
“Hai, Ra.” Suara itu lagi. Aku jenuh untuk mengatakan bahwa setiap aku lupa pasti ia datang. Ya! Sangat jenuh. Ku tengokkan kepalaku bekisar 180 derajat. “Ya?” Jawabku dan segera membalikkan badanku menghadapnya. “Mau curhat. Mau jadi pendengar yang baik?” Tanyanya. Tuhan, demi cinta aku rela!

Segera ku anggukkan kepala pertanda aku setuju dibarengi dengan senyuman manis yang mungkin terlihat sangat terpaksa. “Kamu tak bosan kan selalu mendengar curhatanku?” Tanyanya setelah kami tiba di pendopo warung makan. Ceritanya aku sekalian di traktir. Yasudahlah, mumpung aku juga lapar.

“Kalau aku bosan pasti aku akan menolak di ajak kamu,” Ucapku seadaanya. Ndu, maaf kalau aku bohong. Sebenarnya aku meng-iyakan ajakanmu, agar aku bisa terus-terusan bersama kamu. Batinku. “Ra, kapan kamu punya pacar? Umur mu sudah 23 tahun lho, sudah pantasnya kamu memilih jodoh,” Ujarnya. Ndu, kamu belum paham juga ya? Tak usah ku cari, aku memilihmu sebagai jodohku. Yo’re special in my heart. I hope you to be my mate. Aku berdoa dalam hati.

“Aku masih terlalu muda untuk urusan begituan, masih ingin menghirup udara kebebasan dulu,” Kataku sembari meminum es teh yang masih begitu dingin untuk dicicipi. “Oh ya, menurutmu kalau pacaran sudah dua minggu lalu segera merencanakan pernikahan itu terlalu cepat tidak?” Uhuk... Uhuk... Uhuk... Aku tersendat. Es yang sedari tadi kusedot jatuh dan membasahi setengah taplak meja ini. Aku terdiam. Membisu. Aku gelisah. Entah apa yang harus ku lakukan, ku katakan lagi. Aku tak sanggup berkata.

“Kamu kenapa? Duh, pelan-pelan kalau sedang minum. Sampai tersendat begitu,” Ucapnya santai sembari merapihkan tumpahan es yang sudah berhamburan di meja. “Maaf!” Seruku masih belum bisa berucap. Sedih, iya itu yang ku rasakan. Marah, iya itu juga yang kurasakan. Aku gelisah. Ah! Rasa yang berkecamuk. Semua rasa itu telah bercampur menjadi satu dalam jiwaku. “Menurutmu bagaimana?” Tanyanya kembali dengan begitu santai.

Kamu jahat, Ndu. Seharusnya kamu bisa merasakan ada yang tersakiti saat kamu mengatakan kata-kata itu. Kapan kamu bisa paham dengan perasaan itu? Kapan? Apakah aku harus menunggu kamu tua terlebih dahulu, baru kamu bisa merasakan apa yang ku kirim kan kepadamu?

“Aku capek! Aku pulang ya,” Aku langsung pamit kepadanya. Tanpa salam, dan tanpa kata lagi.

***

Menangis. Hanya itu yang biasa ku perbuat. Cengeng sekali aku? Haruskah aku menangisi dia? Haruskah rasa ini datang disaat yang tak tepat? Mungkinkah aku akan merasakan timpalan balik dari rasa ini?

Aku melirik telepon genggamku. Ada BBM masuk. Dari Pandu.

Pandu Wargodiharjo
Ra, kamu kenapa? Kok tiba-tiba pulang?
Mutiara Syafira
Enggak apa-apa, Ndu. Sudah ngantuk.
Pandu Wargodiharjo
Yasudah, good night Tiara sayang;)
Mutiara Syafira
Pandu, hati-hati nanti pacarmu marah.
Pandu Wargodiharjo
Enggak lah, kan panggilan untuk sahabat;)

Tuhkan, kamu selalu begitu. Kamu selalu membuat ku melayang seketika. Secepat itu juga kamu jatuhkan aku. Kamu kira aku layangan? Yang seenaknya di tarik, di ulur, di terbangkan, di jatuhkan bahkan sampai ia putus karena terlalu rapuhnya benang itu. Iya, seperti kamu memainkan perasaan ku.

Pandu Wargodiharjo
Besok aku ke rumah ya;)

Entah, enggak tahu apa yang harus ku rasakan saat ini. Dia besok kerumah ku. Aku harus senang kah? Atau bahkan aku benci kalau-kalau dia malah melanjutkan curhatannya yang tadi. Oh, Tuhan... beri aku kekuatan untuk menerima ini semua.

***

“Tiara, ada Pandu di depan,” Kakakku berteriak menyerukan nama ku. Oh, dia sudah datang. Ku lihat wajahku di depan cermin. Ah tidak terlalu kelihatan kalau aku habis menangis. Langsung saja, aku keluar kamar menemuinya. Pandu berbeda, ia terlihat tampan seperti itu. Seperti presenter Tarra Budiman. Ah iya! Apalagi dengan topi di kepalanya. “Tumben, ganteng gitu? Mau kemana, Mas?” tanyaku yang mungkin mengangetkan lamunannya saat serius membalas sebuah pesan dalam telepon genggamna.

“Ahayde, makasih Ra.” Katanya dengan cengar-cengir seperti kuda. “Oh ya, belum sarapan kan?” Tanyanya kembali. Ah, baru jam 7 pagi. Belum waktunya aku sarapan. Aku sudah biasa sarapan sekitar jam 9an mau itu aku sudah lapar sekali ataupun belum, ya..., memang jadwalku sarapan di waktu itu.

Aku hanya menggeleng pertanda aku belum sarapan. Ya, hanya segelas susu yang setiap paginya telah Ibu siapkan di dapur untuk anak-anaknya. “Yaudah, mandi sana. Ikut aku,” Sebegitu suram kah wajahku, sampai ia tau bawa aku belum mandi? Ck.

Tanpa kata lagi, aku langsung masuk kembali ke dalam rumah. Dan bergegas masuk ke kamar mandi.

Sekitar setengah jam Pandu menunggu di depan rumah. “Aduh non, lama banget sih,” Protesnya kepadaku. “Aku kan perempuan, Mas.” Akhirnya kami jalan. Seperti biasa dengan jalan kaki. Aku tahu pasti ia mengajakku ke pantai lagi. Mentang-mentang dekat dengan rumah. Pilihannya Pantai Parangtritis melulu. Aku mencibir.

“Traktir kan ini?” Tanyaku saat dia masih serius dengan BB nya. Hanya anggukan yang ku dapatkan darinya. Ah! Lebih baik aku menolak ajakannya. Tapi terlambat. Sudah separuh jalan aku dengannya. “Serius amat, Mas? BBMan sama siapa sih?” Tak ada jawaban darinya. Akhirnya aku merebut BB itu dari genggamannya. “Tiara, jangan rese ah! Balikan BB ku!” Serunya dan akhirnya kami main kejar-kejaran. Untung sudah sampai, jadi kejar-kejarannya terhentikan. “Nah, itu orangnya!” Dia menunjuk kearah pantai lepas. Perempuan? Aku menghentikan jalanku. Apakah dia perempuan yang ingin di katakan oleh Pandu kemarin? Apakah perempuan itu yang akan menjadi milik Pandu seutuhnya?

“Lho, kok berhenti sih, Ra? Ayuuuk,” Tanganku ditariknya menuju perempuan itu. Entah apa yang membuat aku sulit untuk melangkah. Apakah pasir-pasir ini yang membuat langkah ku terhenti? Atau bahkan perempuan ini? Tuhan, tolong kuatkan perasaan ku. Hilangkan terlebih dahulu perasaan itu.

“Ayla?” Pandu memanggil nama itu dengan lembut. Dan seseorang yang dipanggil membalikkan badannya dan akhirnya perempuan yang pernah Pandu ceritakan ini memperhatikan kami. “Sudah lama? Oh ya, maaf aku bawa sahabat ku. Ini Tiara, Tiara ini Ayla pacarku,” Ujar Pandu memperkenalkan kami berdua. “Pandu, boleh kamu bunuh aku sekarang? Kamu jahat Pandu, lebih baik aku mati sekarang.” Sayangnya, aku hanya mengatakan lewat batinku. Tuhan, kuatkan aku!

Percuma kan? Akhirnya aku hanya di jadikan nyamuk saja oleh mereka. Pandu, kenapa kamu tidak bilang, kalau kamu ingin memperlihatkan pacarmu padaku? Mengapa kamu malah bilang kepadaku bahwa kita hanya sarapan? Kita. Iya, seharusnya hanya ada aku dan kamu. Tanpa dia, Ndu.

Aku tak nafsu makan. Padahal aku sudah dipesankan bubur ayam oleh Pandu. Biarlah, aku sudah kenyang dengan pemandangan yang berada di depanku. Oh ya, untung BB Pandu masih ku pegang. Lebih baik aku mengusilkan BBM nya. Iya, aku akan membajak BBM nya. Ku pasang PM kebelet kawin lalu ku ganti DP nya dengan foto dia yang sedang tidur dan ku ganti juga DN nya dengan Panuan Wargodiharjo. Hahaha, aku puas mengerjainya. Iseng-iseng aku mengecek chat. Lumayan banyak dia chatting-an dengan seseorang. Ah ku cek chat dia dengan... Ah, ya! Ayla Riskia.

Oh, Tuhan, aku salah besar! Seharusnya aku tak nge-stalk chat mereka berdua. Kamu tolol, Ra! Kena sendiri kan akibatnya? Nyesek kan? Aaaah! Aku menghirup nafas panjang. Huuh, haaaah, huhhh, haaaah! “Nih, Ndu BB kamu. Aku ke pantai dulu ya,” Pamit ku pada mereka berdua.

Akhirnya, aku sendiri disini. Keadaan pantai masih sepi pengujung. Mungkin, karena ini memang bukan weekend. Biar deh, biar aku bisa menangis sepuasnya. Iya, tanpa kusadari ternyata air bening keluar dari pelupuk mataku. “Kamu jahat! Kamu tega, membiarkan aku terus menyakiti hatiku sendiri. Kamu senang ya, jika aku memendam rasa ini sendirian? Apakah aku kurang memberikan kamu sinyal-sinyal? Haruskah ku katakan ini semua? Iya, bahwa aku mencintaimu, Ndu. Aku sayang sama kamu. Kenapa sih, kamu masih cari-cari wanita lain? Nyatanya disini ada aku yang tulus benar-benar sayang sama kamu. Bukankah kamu mencari kenyamanan? Memang kamu tak nyaman denganku? Kalau begitu kenapa kamu terus mengajakku untuk bermain? Oh, iya aku paham kamu pasti mengajak ku bermain dengan perasaan ku, kan? Kamu jahat, Ndu! Kamu enggak tahu gimana perasaan kamu saat kamu terus-terusan cerita-cerita tentang wanita lain? Kamu enggak sadar, di sana terlihat petir menyambar wajahku, Ndu. Pandu... aku sayang sama kamu!”

“Kenapa kamu tidak bilang dari awal, Ra? Kenapa baru sekarang? Disaat aku sudah bersama wanita lain?” tiba-tiba Pandu berada dibelakangku. Berada disaat aku menyeluruhkan semua perasaanku. Berada disaat aku terpukul karenanya. “Sejak kapan berada disitu? Maaf, maafkan aku karena aku mencintaimu. Ini bukan niatku untuk mencintaimu. Tapi, hati, Ndu. Hati ini yang sudah terperngkat dalam hatimu. Aku tak bisa lepas dari jeratan perangkatmu, aku tersesat menuju hatimu. Aku capek terus-terusan bolak-balik berada hanya pada hatimu. Aku capek. Ijinkan aku keluar, ku mohon. Aku tau, aku yang membuatnya tersesat. Tapi, sekarang aku mohon ijinkan aku untuk keluar dari hatimu. Keluar dari semua tentangmu.”

“Engga, Ra. Kamu harus tetap disini. Nanti aku bantu untuk keluar dari hatiku, tapi tidak untuk jauh dariku. Aku tak bisa jauh darimu, Ra. Maafkan aku, bukannya aku jahat. Bukannya aku menyakiti hatimu. Tapi, semua ini terlambat. Aku telah melamar Ayla, untuk menjadi istriku,” Jleb! Ndu, kamu benar-benar membunuh hatiku, Ndu! Kamu benar-benar mematikan seluruh jiwaku.

“Oke! Selamat. Selamat karena kamu sudah menemukan pendamping hidupmu. Dan selamat tinggal Pandu. Aku senang bersahabat denganmu,” Aku lirih. Aku pergi meninggalkannya hanya dengan ucapan selamat. Iya, selamat berpisah sekaligus. Aku akan pergi, akan pergi dari hidupmu. Aku takkan mengusik hidupmu lagi. Aku pastikan untuk mendapatkan penggantimu. Ku yakinkan itu!

***

“Ndu, tinggalkan aku jika kamu menyayangi Tiara. Ikhlaskan aku, biarkan aku disini sendiri. Toh, hidupku takkan lama lagi. Jangan membiarkan hatimu memendam rasa seperti itu. Sebenarnya aku sudah tahu dari awal. Seberapa sayang kamu ke aku. Iya, berbeda saat kamu bersama-sama dengan Tiara. Kamu menyayanginya, Ndu. Tinggalkan aku. Tak usah khawatirkan aku, jika kamu bahagia pasti aku akan bahagia. Kasih cincin ini untuknya.”

“Tapi..., kamu? Tidak! Tidak usah! Ini sudah keputusan ku untuk menikahkan kamu, Ay.”

“Iya, aku tahu. Tapi, aku tak ingin menikah dengan seseorang yang nyatanya hatinya bukan untuk aku. Sudahlah, kejar dia. Lamar dia. Segeralah menikahkannya. Segeralah kamu bahagia dengannya. Percuma juga, Ndu, jika kamu menikah denganku. Umurku hanya tinggal menghitung bulan saja. Kanker Hati ini sudah menggerogoti seluruh badanku. Ayo, sekarang kamu kejar dia sebelum terlambat!”

***

“Assalamu’alaikum... Tiara....”

“Mbak Tiara, ada Mas Pandu diluar,” Adikku yang membukakan pintunya. Duh, kenapa mesti di bukakan pintunya. Ada apa lagi dia datang kerumah ku? Bukankah dua minggu lagi dia akan melangsung pernikahannya? “Bilang aja, Tiaranya enggak mau keluar!” Seruku dengan berteriak. Dan ku keraskan lagi volume TV yang sedang aku tonton. Aku sedang menonton FTV yang berda distasiun langganan untuk menayangkan film tersebut.

“Ra?” Seperti ada seseorang yang memanggil. Ku lihat kanan, kiri enggak ada. Dan tiba-tiba aku dipeluk seseorang dari belakang. Tuhan, ku mohon berhentikan waktu sekarang juga! Dekapan ini nyaman. Iya, aku merasakan kebahagian yang entah dari mana datangnya. “Maafkan aku, Ra.” Hah? Suara ini? Aku menengok ke arah suara tersebut. Ku lepaskan dekapan itu. Ralat! Dekapan ternyaman itu.

“Ngapain sih, kamu masih disini? Sudah sana nanti pacarmu marah, nanti aku dibilang perusak hubungan orang, lagi.” Kataku masih ketus kepadanya. “Justru, Ayla yang menyuruh aku kesini.” Dia pindah posisi yang semula berada di belakangku menjadi pindah kedepanku. “Ayla menyuruhku untuk memberikan cincin ini kepada kamu, Ra.” Dia memperlihatkan sebuah benda berwarna merah berbentuk hati. Iya, ini tempat cincin berlian.

“Ra, aku serius. Aku enggak main-main. Maafkan aku, yang tak peka terhadap perasaan mu. Maafkan aku yang mungkin menyakiti perasaanmu walaupun itu secara perlahan. Maafkan aku untuk semua kelakuan yang kau tak suka. Aku akan menggantinya dengan kamu menjadi istriku. Ra, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?” dia menundukkan kepalanya. Aku masih tak mengerti dengan semua ini.

“Ndu, ini maksudnya apa? Sudahlah, jangan mempermainkan perasaanku lagi. Aku capek tahu! Sudah sana pulang!” Aku mengusirnya. Dan lekas berdiri menuju pintu keluar.

“Ra, plis beri aku kesempatan. Aku engga main-main. Ternyata perempuan yang membuat aku nyaman ada disini, ada di depanku. Aku memang bodoh! Aku tolol! Aku yang tak menyadari semua itu. Ra, tolong... Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan kamu menjadi istriku, ku mohon.”

“Tapi ini maksudnya apa? Kenapa disaat kamu bilang akan meikah dengan Ayla, sekarang malah kamu melamar aku?” Tanyaku dan dia menceritakan semuanya. Dan aku hanya mengangguk-anggukan kepala. “Aku engga mau punya suami yang tak pernah sayang kepadaku,” Kataku. “Kata siapa aku tak sayang padamu?” Tanyanya. “Buktinya, kamu kesini disuruh Ayla, kan?” Aku menanya balik.

“Iya, memang! Tapi kan kamu tahu sendiri, Ayla aja mengerti bahwa aku menyayangimu. Dia paham bahwa yang ada di hatiku hanya kamu. Ya, memang aku bodoh sih! Aku engga tahu siapa yang ada dihatiku sekarang. Yang jelas, ada seseorang yang belum sempat keluar disini,” Dia memegang tanganku dan mengarahkan tanganku ke dadanya. “Iya, Ra. Disini... hati kamu masih tersesat disini,” Katanya dengan masih setengah memohon. “Ayolah, Ra. Umur kita kan beda 2 tahun doang kok,”

“Maaf, Ndu. Aku akan memikirkan ini dulu, ini pilihan sulit setelah kamu menya...” Aku potong pembicaraanku. Agar ia tak tersinggung. “Menyakitimu? Iya, Ra. Aku paham. Makanya kau ingin meminta maaf, akan ku tebus semuanya dengan kau menjadi istriku. Ku mohon,”

“Oke, aku mau!” Aku langsung to the point mengatakan bahwa aku ingin menjadi istrinya. Yeeey! Alhamdulillah, aku akan mempunyai seorang kekasih yang pertama dan terakhir. Semoga ya......
"Kamu serius kan, Ra?" Katanya agak takjub. Dia menggendongKu dan mengitari aku bak seperti di film-film. "Turunkan aku! Nanti jatuh ah, Ndu." Rengekku dan dia menuruni aku. "Ra, aku jadi pingin kebelet kawin deh. hahaha kamu iseng ya, ngebajak BBM aku," Katanya lagi dan mencubit hidungku yang agak mancung ini. dan ku lirik hidungku ternyata berubah menjadi warna merah. "Ah Panduuuuuuuuu!" Seruku dan aku mengejarnya untuk membalas cubitan itu.

Aku bahagia, Tuhan. semoga ini untuk selamanya. Dan peristiwa batu yang kuhempaskan dipantai itu terkabulkan. "Jangan datang lagi jika hanya untuk sementara." Dan nyatanya dia datang kembali untuk selamanya untuk datang menjadi pendamping hidupku.

***

Besok adalah puncak acara pernikahanku dengan Pandu. Semua orang sudah sibuk. Aku pun ikut sibuk merawat diriku sendiri. Membersihkan seluruh badanku. Karena ini yang pertama. Ya, Pandu adalah yang pertama untukku.

Aku tahu, ini sungguh cepat. Hanya seminggu dari acara lamaran dia. Tapi, tak mengapa. Kita sudah mengatakan perasaan kita masing-masing. Aku sudah lega mengatakan bahwa sejak lama aku menyayanginya. Yang jelas, selama ini memang kami terus-terus bersama walaupun hanya berstatus sahabat.

Pandu akan menjadi sahabat sejati, sekaligus pendamping hidupku. Dia yang pertama, dan semoga juga dia yang terakhir. Semoga acara besok berjalan dengan lancar, Tuhan....

***  

“Saya terima nikahnya Mutiara Syafira bin Edrik Syarif dengan mas kawin 23gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!” Itulah ijab qabul yang di utarakan oleh Pandu. Dan semua wali mengatakan “Saaaaah!”

Ya, pernikahan kita berjalan dengan lancar. Dan akhirnya aku menjadi seorang istri. Istri dari Pandu Wargodiharjo. Bukan, Panuan Wargidoharjo. Dikecuplah keningku dengannya. Dan dia berteriak, “Yeeeeey, akhirnya aku punya Bojooooo.....” dan ku harap kebahagian ini akan selamanya......