Ruang Aula sudah sesak dipenuhi oleh banyak
siswa-siswi. Ya! Dimulai dari ruangan ini aku mempunyai sekolah baru. Aku
sedang masa orientasi siwa,yang biasanya disingkat dengan MOS. Diawal
sekolah baruku ini aku hanya sendiri. Karena memang sama sekali aku tak
mempunyai teman dari sekolah asal ku.
Dan bodohnya lagi, aku sangat susah untuk
akrab dengan orang yang baru ku kenal. Lantas? Aku harus apa? Menanyakan soal
tentang apa yang harus dibawa pada MOS hari selanjutnya saja gelagapan. Tapi,
untungnya, ada satu cewek yang tiba-tiba sok kenal dan sok dekat gitu deh..
dia memperkenalkan diri, sebut saja namanya Lubna.
Kupikir, disekolah yang baru ini, aku
benar-benar memang tidak bakal mempunyai teman. Tapi, Alhamdulillah.. Tuhan
masih adil kan?
Kami selalu bersama sepanjang MOS tersebut.
Sampai kami dipisahkan oleh kelas yang berbeda. “Lubna Putri Salsabila, kamu
dikelas sepuluh satu ya,” Kata kakak kelas yang diakui bernama Satria tersebut.
Haruskah aku berpisah? Tuhan, kenapa secepat itu kau memisahkan seorang teman
yang baru saja akrab ini?
“Claudy Syifatunisa, kamu dikelas sepuluh
tiga.” Aku sedikit terkejut. Ku kira, aku dan Lubna akan terpisah hanya beda
satu kelas. Tapi? Ternyata beda dua kelas. Sama artinya, kelas kita pasti
berjauhan.
Setelah, pembagian kelas tersebut. Tugas
terakhir di MOS ini adalah bersih-bersih daerah sekolah. Ada yang membersihkan
kelas, ada yang memunguti sampah-sampah yang tergeletak dihamparan hijaunya
rumput dekat lapangan. Ada yang mengabil juga sampah yang terlihat dekat aula.
Dan sampai ada yang bersih-bersih ruangan-ruangan lainnya.
Untung saja, Aku dan Lubna kebagian sama.
Kami kebagian membersihkan derah taman dekat lapangan tersebut. “Dy, walaupun
kita tak sekelas. Tapi bersih-bersih ini kita akhirnya bareng juga ya.” Lubna
tiba-tiba memecahkan keheningan saat aku dan dia sama-sama sudah habis bahan
pembicaraan.
“Eh, iya, Na. Tapi kita tetap temanan kan?
Ya.. walaupun dipisahkan kelas seperti itu. “ Aku berbicara sedikit lesuh. Ya,
mungkin karena baru hanya dia yang ingin berteman denganku.
Aku. Yap! Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya
seorang wanita yang tak mempunyai paras cantik nan anggun. Aku wanita kurus
kering seperti tak pernah diisi gizi. Walaupun tinggi badanku sudah mencangkup
wanita yang ideal. Tapi, aku bersyukur kepada sang Pencipta. Pasti, ada sesuatu
dibalik badanku yang seperti ini
Ya, walaupun aku jelek. Tapi aku perempuan
yang cerdas. Hobi ku yang sering baca buku ternyata membawakan sebuah hasil
yang memuaskan untuk diriku. Apalagi dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan
Biologi. Alhamdulillah, ulangan pelajaran itu aku selalu mendapat 100.
Hobiku ini tertular dari Ayah yang sering
membacakan ataupun menceritakan tentang apa saja hal yang menarik.
Ngomong-ngomong menarik, aku sangat suka sekali dengan hal yang seperti itu.
Terlebih jika tentang artikel-artikel.
Selain parasku yang tak cantik ini. Aku juga
bukan sosok orang yang berada. Ayah hanya seorang penjual tas. Dan Ibu hanya
menganggur, mengurusi keluarga dirumah. Apalagi, adik sedang sakit. Entah
penyakit apa yang diserangnya. Tapi kata Ibu, duit yang ia punya tak mencukupi
untuk membayar pengobatan Adikku.
Adikku bernama Damar. Dia masih sekolah SD.
Tapi, setelah ia mempunyai penyakit ini, ia sudah tak sekolah karena tubuhnya
yang tak kuat apabila sinar matahari merasuki badannya itu. Aku jadi bingung
sendiri… Tapi, pernah aku membaca buku. Manusia akan kuat jika terkena
matahari. Tapi kok Damar? Entahlah, namanya juga penyakit.
“Hey! Kalau jalan liat-liat dong. Jangan
sambil bercanda seperti itu.” Aku terkejut setelah mendengar perkataan seperti
itu. Aku menoleh kearah suara yang mengangetkan barusan. Oh. Ternyata dia. Ya! Dia kakak kelas
yang sejak tadi diceritakan oleh Lubna. “Maaf, kak.” dengan sopan aku meminta
maaf kepadanya. Dia agak sedikit terpesona. Ya! Tersepona. Tapi bukan dengan
ku. Melainkan dengan Lubna. Wah, jangan jangan….
“Hey, kak! Sudah dimaafin kan? Kami duluan
ya, kak!” Aku langsung menyeret Lubna untuk menjauh dari kakak itu. Kalau sudah
seperti ini. Pasti ada sesuatu diantara dia dan kakak-kakak itu. “Fa, biasa aja
dong nariknya. Gak bisa ngeliat orang seneng apa!” Dia memprotesi aku karena
aku tadi menariknya dan menjauh dari kakak yang tak sengaja tertabrak dengan
kami itu.
Kami sudah setahun berteman. Tidak ada
pertengkaran diantara kami. Dan kalian tahu? Setiap kami bertemu dengan kakak
yang disukai oleh Lubna pasti dia langsung menjerit fanatik.Ya. Lubna sangat
suka sekali dengan kak Rendi. Seorang cowok yang pernah tertabrak oleh kami
sewaktu dahulu dan memberikan pandangan pertama pada sosok Lubna.
Semakin
hari aku juga lelah sih kalau terus-terusan mendengar cerita dari Lubna itu.
Bayangkan setiap pagi, setiap kami nunggu angkutan umum jika kami ingin berangkat
sekolah, dia hanya menceritakan tentang kak Rendi. Siapakah yang tidak bosan?
Akhirnya,
jika dia sedang ingin hanya membicarakan tentang Kak Rendi lagi, aku langsung
memotongnya dengan pembicaraan lain. Entah itu menanyakan PR atau tugas
lainnya. Biar tau rasa gimana rasanya di gituin!
Sampai
suatu saat dia merasa kalau cerita yang ia lambungkan ke udara tersebut
diacuhkan oleh ku. “Fa, lo kenapa sih? Setiap gue cerita gak pernah dengerin
gue lagi?” Tanyanya. Akhirnya dia merasa juga. Kenapa bukan dari dahulu
merasanya? Dasar orang yang tak pekaan! “Hah? Emang ya? Maaf deh, lagi lo
cerita ka Rendi terus sih. Gue kan juga bosen..” Frontal ku. Maaf deh, Na.
Bukan itu yang aku maksud. Hanya ingin memberitahumu kalau dunia tak sesempit
cerita kamu dengan Kak Rendi.
Dia
hanya diam. Tak menjawab pembicaraan ku lagi. Sampai kami sampai disekolah. Dan
waktu kami ingin pisah kelas aku jadi tak enak sudah berbicara se-Frontal
seperti tadi. “Maafin gue ya, Na. Gak seharusnya gue ngomong gitu tadi,” Kataku
gugup. Aku gugup, mungkin karena sudah menyakitkan hati sahabatku ini.
“Gak
apa-apa kok. Gue yang salah. Sudah ya, nanti istirahat bareng..”Ucapnya sembari
tersenyum. Tapi, itu bukan senyum yang pernah ia lengkungkan jika sedang
senang. Melainkan itu senyum terpaksa. Benarkah ia sakit hati sudah dengan
ucapan ku tadi? Pastilah!
“Fa, gue jadian sama Agung! Coba lo bayangin,
tiba-tiba dia nembak gue semalem. Waktu kita lagi jalan,” Tiba-tiba datang
kerumah ku tanpa mengucapkan salam. Tanpa mengetuk pintu. Tanpa melihat adakah
orang dirumahku. Ya seperti biasa. Dia yang selalu rutin menghampiri rumahku
sebelum kami berangkat sekolah. Mentang-mentang dirumah Ayah sama Ibu sedang
kerumah sakit. Uh! “Whaaa.. selamat ya. PJ dong..” Aku meminta traktir darinya.
Selamat deh, Na. mungkin cerita tentang Kak Rendi akan punah. Oh god! Memang
cerita Ka Rendi bakalan punah. Tapi pasti cerita tentang Agung akan mengudara
dimulut kamu. Huuuuuh!
Untungnya,
perkiraan ku salah. Dia jarang menceritakan tentang Agung. Ya. Walau masih
cerita sedikit demi sedikit, yang jelas tidak seperti menceritakan tentang Kak
Rendi.
“Fa,
kenal sama yang namanya Dwiqi?” tanyanya. Dwiqi? Oh. Dia teman semasa kecil ku.
Dan sekarang kami satu sekolah yang sama. Tetap, walaupun dia beda kelas dengan
ku. “Kenal. Kenapa emang?” aku bertanya kembali.
“Dia
ganggu gue mulu tuh. SMS-in gue mulu lagi. Norak banget caranya.” Hahaha. Aku
hanya tertawa mendengar opininya tersebut. Dwiqi? Cowok kecil tapi manis.
Memang sewaktu SD dia terkenal dengan kepintarannya. Tapi, aku dengar-dengar
akhir-akhir nilainya selalu turun. Entah karena pengaruh apa? Akupun tidak
tahu. “Mana sini gue minta nomornya?”
entah dari setan mana, aku meminta nomornya pada Lubna. Mungkin sekedar ingin
mengerjai balik.
Malamnya,
aku mengirimkan sebuah SMS kosong kepadanya. Lalu dia menjawab. “Siapa nih?”
Akhirnya aku terus menjawab dan menjawab dan menjawab. Ternyata ketahuan siapa
aku. Dan kami menjadi sahabat hingga sekarang.
Dan
sampai suatu saat, dia bilang kalau dia suka dengan Lubna. Aku sudah tahu dari
awal. Pasti alasan dia mengodai Lubna pada jam-jam yang sedang dilalui bersama
dengan Agung karena dia ingin mereka putus terlebih dahulu. Lalu Dwiqi
menyatakan perasaannya. “Yaudah, tembak lah.” Ucapku asal saat dia menelepon ku
malam-malam. Waktu itu sudah pukul 1 pagi. Waktu yang sangat larut bukan? Aku
bisa tidur selarut itu karena Dwiqi. Entah jadi kebiasaan atau memang keasyikan
berbicara lewat telepon dengannya.
Hari
demi hari ku lewati, bulan bertemu bulan ku jalani, dan sudah 1 tahun aku
bersamanya. Aku jadi terlarut dengan perasaan ini. Aku terlarut saat dia
perhatian denganku. Aku terlarut saat dia tersenyum manis kepadaku. Ya. Aku
suka dengannya. Tapi, aku tak pernah menceritakan semua tentang ini kepada
Lubna. Untuk apa? Dia sudah sibuk dengan Agung sang kekasih. Mungkin bisa
dibilang, dia sudah lupa denganku. Bahkan disekolah pun, kami jarang bertemu.
Sampai
suatu saat, dia merasa ada yang janggal atau apa. Dia bisa-bisanya bilang
begini, “Lo perhatian banget sama gue, Fa? Lo suka ya sama gue?” Dengan suara
sedikit lembut namun agak serak dia berbicara seperti itu. Dan bodohnya.
Padahal itu sebuah kesempatan, tapi aku malah mengumpatnya dengan rada malu
bercampur kaget. “Hah? Engg..gak salah? Iyuh banget gue suka sama lo!” Seruku
agak meninggikan kan ‘Gak salah?’
Tuhan,
bodoh sekali aku. Kenapa sih? Ego ini. Gengsi ini. Ini yang membuat semuanya
menjadi hancur berantakan. Seharusnya jika aku jujur, akan menjadi indah.
Apakah ini sebuah teguran darimu, agar aku menjauh darinya? Agar aku tak sakit
hati lagi? Haaaah!
Akhirnya,
tiba-tiba hubungan kami tidak membaik. Dia sudah jarang menelepon ku saat
malam-malam biasanya. Dia hanya sekali-dua kali SMS ku, hanya untuk menanyakan
hal yang tidak penting. Dan sampai pada akhirnya, semuanya hilang saat terakhir
kali dia mengataiku dengan sebutan ‘hewan’ yang sangat tidak sopan dilakukan
oleh seorang laki-laki kepada perempuan. Dia mengataiku memang tidak langsung,
melainkan lewat SMS.
Tuhan,
bunuh aku sekarang! Sakit sekali tiba-tiba dapat SMS dari orang yang kita
sayangi seperti itu. Salah apa aku? Setahuku, aku tak pernah ngapa-ngapain
dengannya. Aku tidak pernah menceritakan kalau aku suka dengannya pada orang
lain.
Sudahlah!
Memang dari awal tak seharusnya aku mengenal dia. Tak seharusnya aku dekat
dengan dia jika hanya ini yang aku dapatkan. Sakit hati sekali. Ini melebihi
sakitnya, saat aku tahu bahwa Damar, adikku koma dirumah sakit. Perih sekali.
Sudah
2 tahun aku masih memendam perasaan ini. Tak mengharapkan apa-apa sebenarnya,
mungkin hanya membuang waktuku saja, untuk orang yang tak sepenting dia. Tapi,
kalau sudah sayang? Haaaah! Hanya membuat sesak jika mengingat itu.
Ini sudah tahun ke-3 aku memendam rasa
kepadanya. Ya! Selama ini hanya dia seorang laki-laki dihidupku selain Ayah.
Setiap teman yang lain menceritakan cowok baru atau entahlah selingkuhan atau
apapun itu. Aku hanya menceritakan dia. Hanya dia tak ada yang lain. Tanpa ku
beri tahu namanya kepada teman-temanku.
Coba bayangkan? 3 tahun bukankah waktu yang
sangat lama? Kalau seorang bayi saja sudah bisa berlari-lari kencang. Ya. Sama
seperti dia, sudah berlari-lari dipikiranku.
Tapi aku baru menyadari kembali. Temanku.
Teman beda kelas tepatnya. Namanya Ami. Dia bilang kepadaku begini, “Fa, lo
kenal Dwiqi? Dia bilang sadis banget tadi. Dia bilang katanya lo jangan
ngaku-ngaku sebagai mantan dia! Dia gak suka sama cewek kayak lo. Jelek aja
belagu.”
Tuhan! Aku ingin mengakhiri hidupku sekarang
juga. Akhirnya, pada jam pelajaran Bu Radji guru B.Indonesia aku menangis.
Menangis yang hanya mengeluarkan air mata tanpa suara apapun. Aku terdiam
dengan tatapan yang sangat kosong. Aku baru menyadari karena hal itu dia
menjauh dari ku. Sesak sekali rasanya di fitnah oleh orang yang aku
bangga-banggakan secara tidak langsung seperti itu. Mantan? Jangankan bilang
mantan, aku bilang suka sekali sama kamu saja tidak ada yang tahu!
Kok
kamu jahat banget sih? Kenapa? Oh. Mungkin memang aku bukan seleramu. Mungkin
semua yang ada di diriku bukan pilihanmu. Oke. Aku terima, aku bakalan menjauh
darimu. Lihat saja! Aku akan temukan yang terbaik dari mu. Sombong sekali
mentang-mentang sekarang menjadi idola cewek-cewek disekolah.
Akhirnya
aku memutuskan. Memutuskan untuk menjauh darinya. Memutuskan untuk berlari
keujung dunia. Memutuskan untuk mengakhiri perasaan ini. Terima kasih untuk
semua yang kau berikan tentang arti bertahan karena yakinnya cintaku padamu,
tapi hanya kau lukai perasaanku ini. Yang jelas, aku belajar arti bertahan
darimu.
Jujur
cinta itu memang membutuhkan waktu untuk tetap hidup. Dan sayangnya waktu itu
tidak untuk aku dan kamu.