Angin
merengkuhkan rasa gundahnya. Mengumpalkan perasaan itu ke semua orang yang
menghirupnya. Sukses! Angin membuat hati ini begitu pekik terhadap suasana.
Dengan gumpalan udara yang tak begitu bersih aku menghirup dalam-dalam hembusan
angin tersebut. Ku rasakan memori terekam dan seketika ku pejamkan mata
lamat-lamat.
Kembali
terekam suasana yang begitu indah. Begitu syahdu dengan alunan lagu melow yang
kau buat untukku. Waktu itu kita di taman sekolah yang begitu indah dengan
banyak beragam macam tanaman hijau, kau mengatakan aku adalah sosok wanita yang
kau cari-cari sejak dahulu. Kau selalu mengatakan rasa yang pernah kau berikan
hanya untukku. Mungkin, karena terpaan setiap katamu yang begitu manis aku
terbuai. Nyatanya, saat ini kau tidak baik untukku. Kau meninggalkan ku dengan
semua kenangan kita.
Kau jahat!
Sangat begitu jahat. Setiap untaian kata yang selalu kau berikan itu hanyalah
angin semata. Angin yang menerbangkan setiap untuaian kata manis itu. Aku
menyesal saat itu sangat percaya kepadamu kalau memang kau benar teramat sangat
baik untuk ku.
Aku sedih saat
kau bilang kau titip semua kenangan kita. Aku sangat sedih! Aku tak mengerti
apa maksud semua itu. Apa maksud dari pembicaraan itu? Aku memang ssudah
memendam rasa curiga saat sebelum kau mengucapkan kata-kata yang tak ingin ku
dengar itu.
Aku langsung
bertanya kepada kamu, “Maksud kamu? Kamu ingin kita menyudahi semua hubungan
ini?” Tanyaku dengan raut yang sangat begitu serius. Ku rasakan tiba-tiba angin
tampak begitu kencang hingga rambutku yang terurai langsung saja terhembuskan
oleh terpaan udara. “Ku rasa kamu bosan dengan aku,” Katanya dengan santai
sembari mengirup dalam-dalam rokok yang merupakan makanan sehari-harimu. Kau
yang hanya memakai kaus oblong dan celana jeans ketatmu dan beralaskan
kepala—topi—yang entah gaya apa tak ku mengerti itu, berbicara dengan santai
mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Kamu sok
tahu!” Seruku langsung bersandar di kursi yang sedang kita duduki naungannya.
Tempat biasa kita, taman kota. “Apa buktinya?” Tanyaku kembali sembari menelaah
setiap kata yang ia keluarkan. Tapi yang ku dengar dari ucapanya, dia hanya
memutarkan fakta apa yang diucapkan. Kurasa yang bosan dengan hubungan ini
adalah dia. Iya kamu! Batinku.
“Tidak ada
alasan lain? Punya yang baru?” Tanyaku sangat curiga. Sempat tersenggak karena
kebulaan asap rokok yang ia keluarkan. “Pasti punya yang baru kan? Sudah,
alasan kamu basi! Kenapa enggak jujur saja? Dan enggak usah memutarkan fakta
begitu, kalau nyatanya kamu yang bosan denganku,” Aku langsung berdiri
meninggalkan ia sendiri. Ditaman kota itu.
***
Udara yang ku
hembuskan di pagi hari ini adalah udara yang ke dua minggu tanpa kamu
menemaniku. Tanpa kamu disisi ku. Setelah acara kita bertengkar di taman kota
itu, kamu hanya meminta maaf lewat pesan singkat dan entah di telan bumi yang
mana tiba-tiba kamu menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Dan tanpa
sepatah katapun kamu menggantungkan hubungan kita.
Jujur saja,
aku merindukan kamu. Aku merindukan perhatian kamu yang dulu. Aku merindukan
ocehaan kamu jika kamu memarahiku dengan penuh kasih sayang mu. Ahhhhhhhh! Ku
teriak sekencang-kencangnya di danau yang sepi ini. Aku bosan merindu. Aku
bosan terus-terusaan menunggu kamu yang tak pasti datang ini.
Tapi selain
itu aku harus apa? Apakah aku harus mengelilingi dunia yang besar ini untuk
mencarimu? Sudah sering ku mengunjungi tempat tinggal mu, tapi yang kutemukan
apa? Tak ada seorang pun disana. Sudah ku temui teman-teman sepermainan mu dan
yang mereka katakan kalian sudah lama tak bertemu.
Tuhan,
bagaimana ini? Apakah aku harus melupakanmu? Apakah aku harus mematikan rasaku
untukmu? Apakah memang semua ini harus disudahi?
Aku baru tahu
bahwa kamu tak sebaik yang ku perkirakan. Seharusnya dahulu aku mendengarkan
perkataan temanku yang menyatakan kamu tidak baik. Kamu hanya gitaris yang
belum terkenal. Dan kamu pengangguran...... Iya! Seharusnya aku percayai
perkataan teman-temanku itu. Ah sudahlah! Nasi telah menjadi bubur. Semuanya
sudah terjadi. Rasa ini sudah berkembang melampaui batasan. Aku tak kuat untuk
menahannya lagi.
Terekam
kembali ingatan mimpi tentang kamu dahulu. Dimana kamu adalah pemeran utama
dalam sebuah film romantis. Dan aku adalah seorang kekasih dari kamu. Banyak
hal-hal yang membuat aku terpincut atas rayuan-rayuan gombal mautmu yang
membuat aku tergelitik tersenyum.
Ah sudahlah!
Aku lelah terus-terusan untuk bermimpi. Bermimpi yang tak sanggup ku gapai
kembali.
Aku pulang
dengan perasaan kacau menghadang. Ku lihat sekeliling ramai dipenuhi dengan
segerombolan orang-orang sibuk yang sedang menenteng tas-tasnya. Ya! Dialah
pegawai-pegawai kantoran yang kerjanya menyibukkan diri didepan laptop bak
seorang bos. Yang nyatanya hanya tukang suruh-suruh.
Sedang asyik
aku melihat-melihat sekeliling. Terlihat ada kecelakaan depan mataku. Orang-orang
langsung berhamburan menghampiri. Tapi aku mengenal motor yang baru saja
tertabak itu. Aku diam. Aku bergeming. Aku berfikir keras. Ya Tuhan.....
Tamaaaaaaa! Aku berlari menghampiri Tama, iya dia pacar ku yang sedang kucari-cari
sejak dua minggu terakhir ini.
Ku lihat dia
sudah tak sadarkan diri. Aku langsung meminta tolong pada khalayak ramai. Aku
hanya terlihat seperti orang bingung. Fikiran ku kosong. Jalan buntu sedang
menghadang otakku. Air mataku tiba-tiba saja turun melewati pipi. Aku tidak
tahu harus bagaimana lagi, “Neng...neng... Ayo cepat naik ke mobil. Kamu
pacarnya kan?” Tanya bapak-bapak yang sedang ada dibangku sopir sebuah mobil
hitam metalik. Ah aku baru tersadar. Langsung saja aku naik di bangku penumpang
belakang sopir yang nyatanya disana ada Tama, pacarku.
Ya Tuhan,
Tama. Aku kangen sama kamu. Kenapa kita bertemu saat kamu sedang seperti ini?
Kenapa kamu datang padaku lagi disaat kamu begini? Tama, kamu kemana saja? Aku
sudah lama terus mencari mu. Aku rindu denganmu. Aku rindu dengan kita. Maafkan
aku, sewaktu dahulu pernah egois sama kamu. Maafkan aku...
Pipiku telah
basah oleh deraian air mata yang melewatinya. Sempat airmata ini jatuh di
lembutnya pipi Tama yang sedang terbaring lemah ini. Ah! Seharusnya aku tak
boleh menangis. Disini ada Tama, Tama tak suka melihat perempuan menangis. Tapi
kalau dengan keadaan mengkhawatirkan seperti ini aku tak boleh menangis juga?
Tamaaaa! Ayo bangun! Aku kangen sama kamu. Aku janji, kalau kamu bangun aku tak
akan menangis kembali.
Nyatanya
setelah sampai rumah sakit ini kamu tidak bangun juga. Ah Tama! Kamu jahat
sekali. Kamu tahu tidak? Aku tuh capek terus-terusan menunggu. Aku terlalu
banyak menunggu. Terlebih menunggu kamu. Sudah sering kamu membuat aku
menunggu. Salah satunya, menunggu kamu bangun dari koma kamu ini.
Sudah dua hari
kamu koma dari kecelakaanmu itu. Polisi menyangkal bahwa kamu menerobos lubang
yang dalam sehingga kamu jatuh dan helm yang kau kenakan loncat dari kepalamu
dan akhirnya kepalamu terbentur entah benda apa. Yang jelas, hingga sampai saat
ini akibat kamu koma.
“Tama, ayo
bangun sayang. Kamu enggak capek ya tidur mulu? Pinggangmu memang tidak pegal,
sayang? Kasihan badanmu, sudah kurus begini. Sudah banyak lho tadi temanmu yang
menjengukmu. Dan disini juga ada orang tua kamu. Kamu enggak kasihan melihat
mereka terus menangisi mu? Ayo sayang, bangunlah. Aku rindu denganmu. Ayo kita
lalui semuanya bersama. Aku tidak bosan kok denganmu, yang ada mungkin kamu
yang bosan denganku. Janji deh, aku enggak bakalan membuat kamu bosan. Aku
janji akan selalu ada untuk mu, makanya bangun dong sayang. Aku sayang sama
kamu.....” Kataku terus berbicara sendiri dengan badan Tama yang penuh dengan
luka dibagian kaki dan tangannya. Tanpa jiwanya yang mungkin sedang
berjalan-jalan entah kemana.
Ah! Kulihat
ada air bening dipelupuk mata Tama. Tuhan, sudah sadarkah Tama? Langsung saja,
ku panggilkan dokter dan suster-suster yang merawatnya. “Maaf, mbak. Silahkan
keluar dahulu. Kami akan memeriksa pasiennya.” Aku diusir keluar untuk menjauhh
dari Tama. Yasudah, aku langsung bergegas keluar meninggalkan Tama dan membiarkan
diperiksa oleh seorang dokter yang tak perrnah ku sukai itu.
“Bagaimana
Tama, Dya?” Tanya Ibu Tama agak sesegukan. Ternyata dia masih menangis. Ia
masih tak percaya bahwa Tama kecelakaan. “Aku enggak tahu, Tante. Tapi tadi aku
melihat Tama menangis setelah aku menyemangati dia untuk bangun dari koma. Aku
takut, Tante. Aku sayang sama Tama...” Aku memeluk Ibu Tama. Dengan sekuat
tenaga aku menahan air mata ini untuk tidak jatuh kembali. “Ibu juga, Dya. Ibu
juga sangat sayang sama Tama,” Ucap Ibunya Tama sembari masih sesegukan menahan
ingus yang ingin keluar dari hidungnya.
“Disini ada
yang namanya Nindya?” Kata suster yang tadi mengusirku. “Iya saya sus,” Kataku
sembari tunjukkan tangan. “Silahkan masuk, dari tadi pasien memanggil nama
anda.” Ucap suster dengan nada yang kurang meyakinkan.
Aku berlari
langsung menghampiri kekasihku. Dan para perawat dan dokter pun segera keluar.
Aku langsung membelai wajahnya. Matanya yang sayu, pipinya yang sangat tirus,
wajahnya yang begitu pucat. Ah! Aku tak pernah melihat kekasihku seperti ini.
“Nindya, maafkan aku,” Kata Tama agak terbata-bata. “Sssstt, sebelum kamu minta
maaf aku sudah memaafkanmu, Tam.” Kataku dan dia menyambut tanganku yang berada
dipipinya. “Aku sayang sama kamu,” Katanya kembali. Perasaanku semakin tak
karuan. Aku memanjatkan doa dalam hati agar tak terjadi apa-apa dengannya. Aku
tak ingin kehilangannya untuk kedua kali.
“Aku juga,”
Jawabku singkat. Tanpa sengaja air mataku terjatuh entah maksudnya apa. “Ah
kamu cengeng. Kan sudah ku bilang jangan pernah menangis walau dalam keadaan
duka sekaligus,” Katanya sembari mengapuskan air mataku yang sudah mengalir
deras dipipi ini dengan jari-jarinya.
“Sungguh,
ijinkan aku menangis Tam, aku takut,” Kataku semakin menjadi-jadi perasaan yang
berkecamuk ini. “Jangan takut, sayang. Kalau memang kita jodoh pasti kita
dipertemukan kembali, sekalipun itu di surga sana.”
“Tamaaa!
Jangan berbicara seperti itu. Aku enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua
kalinya. Kamu enggak tahu kan? Aku capek merindu. Aku capek selalu
terus-terusan menunggumu untuk pulang. Aku enggak bisa jauh dari kamu...”
Ucapku dari hati. Baru sekali ini aku mengucapkan kalimat tersebut.
“Iya, maafkan
aku ya. Aku sebenarnya punya satu rahasia. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?”
katanya sembari melengkungkan bibirnya yang manis tesebut. “Aku terkena kanker
paru-paru. Dokter juga sudah bilang kalau hidupku sudah tak lama lagi, makanya
dua minggu yang lalu aku minta kamu untuk menjaga kenangan kita. Aku enggak mau
lihat kamu sedih. Dan aku juga enggak pernah mencari kamu lagi. Menghubungi
kamu lagi. Biar kamu enggak sedih, sayang. Tapi, Tuhan berkehendak lain, kita
dipertemukan lagi. Jadi, aku minta kamu berjanji ya, jika memang aku sudah tak
pernah bisa disampingmu kembali, jangan pernah menunggu ku untuk kembali.
Jangan pernah untuk menangisi ku lagi. Dan aku hanya ingin menitipkan semua
kenangan kita. Maafkan aku, jika aku harus menyudahi hubungan ini. Maafkan aku,
aku terlalu banyak kesalahan, sering menyakiti hatimu. Ku lakukan semua itu,
karena aku sayang sama kamu. Janji ya? Kalau aku sudah enggak ada disampingmu.
Kamu harus mencari penggantiku secepatnya. Harus bisa lebih dari aku, bukan
hanya seorang pengangguran yang hanya dapat duit jika ada job bermain gitar.
Bisa ya?”
“Tamaaaaaa,”
aku memeluknya dengan erat. Sangat erat, aku ingin jika Tuhan mengambil nyawa
Tama, sekalian saja nyawaku juga. Bisakah aku hidup tanpa Tama?
“Uhukk..uhukk...Jangan
terlalu keras peluknya, Nindya sayang. Enggak bisa nafas nih.” Katanya dan
refleks aku melepaskan pelukanku. Ku harap ini bukannlah pelukan yang terakhir.
“Kamu bisa janji ya, sayang?” Tanyanya sembari membelai lembut kepalaku. “Kamu
sayang kan sama aku? Pasti bisa lah...” Dia tersenyum. Senyum manisnya yang ia
keluarkan itu. Senyum yang sering diberikan untukku. Aku menganggukan kepala.
Tapi, ku lihat Tama agak sulit bernafas. Tuhan, jangan bilang kalau.......
Aku berlari
keluar memanggil dokter dan para suster yang tadi memeriksa Tama. Sudah beribu
doa ku lantunkan untuknya. Kami disini sudah hampir setengah jam menunggu untuk
Tama. “Bagaimana keadaan anak saya dokter?” Tanya Ibu Tama saat dokter baru
saja keluar dari ruangan ICU yang sudah dua hari dilalui oleh Tama. “Maafkan
kami, Bu. Tuhan berkehendak lain. Kami sudah sekuat semampu kami menolong anak
Ibu...” Dokter yang telah ku ketahui bernama Indra Gunawan itu berucap.
Aku hancur.
Aku hancur. Aku hancur belebur-lebur. Aku lari entah kemana aku ingin berlari.
Aku ingin menjauh dari tempat ini. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sedang
hancur.
Tama kamu
tega, sayang! Untuk kedua kalinya kamu meninggalkanku. Dan ini adalah yang
terakhir, aku takkan pernah memilikimu kembali.
***
Jam 10 pagi
tepatnya, disaat matahari mulai menyeruakan panasnya untuk menyinari bumi. Tama
telah dikebumikan. Banyak orang yang menangis, kecuali aku. “Sayang, aku sudah
menepati janjiku kan. Nih, aku tak menangis meskipun itu duka. Aku enggak
menangis kan? Tama, kamu jahat banget sih, aku rindu sama kamu. Sudah lama kita
tak berjumpa. Mengapa disaat kita berjumpa kembali, kamu malah langsung
meninggalkan aku sendiri disini tanpa kamu lagi? Ah! Tama, aku sayang sama
kamu. Apakah aku bisa menjaga titipan kenangan kita? Apakah aku sanggup? Demi
kamu aku akan menjaga titipan kenangan dari kamu. Kamu disana baik-baik ya
sayang. I Love You, Tama......