Dreamer!

Saturday 23 November 2013

Memories of mother

Seperti biasa. Dimalam seperti ini. Seperti malam-malam yang telah lalu. Ada saja yang mengingatkan tentang mu. Tentang bagaimana kau mengajari ku di dunia yang fana ini. Tentang semua cara yang bisa membuat aku tenang dalam menghadapi sebuah perasaan yang sedang mengganjal.

YaAllah, sudah berpuluh-puluh hari aku merindu kembali. Setelah kepergiannya, duniaku tanpanya berbeda. Tak seperti biasanya. Duniaku seperti sehelah kapas yang bertebrangan. Hampa.

YaAllah, izinkan hambaMu ini untuk terus mengadu, mencurahkan segala kepenatan dunia yang kurasa tiada berguna tanpaMu. Begitupun tanpanya. Jika boleh, aku titip setiap kenangan, rindu, cinta dan kasih sayang yang masih sangat dalam dilubuk hatiku. Tak ada cinta selain cinta kepadaMu, kepada beliau dan teruntuk keluarga yang begitu menyayangiku terlebih dari apapun.

Mah, rindu ini sangat menyayat hati, Mah. Kapan kita akan bertemu, Mah? Kapan? Rindu ini selalu saja sendiri. Akankah semua yang aku inginkan dapat terkabul oleh Allah?

Mah, aku kangen sama mamah. Kangen banget. Semua berbeda tanpa Mamah. Biasanya ada yang perhatian sama aku saat aku meringis merasakan sakitnya kepala ini. Biasanya ada mamah yang selalu masak, masakan yang begitu istimewa. Biasanya ada canda tawa saat kita jalan-jalan bersama. Mah, akankah semua itu dapat terulang?

Mamah pasti tahu kan? Iya mamah, anak mamah yang pertama sudah menikah. Mamah senang tidak? Semoga senang ya, Mah. Tapi tidak dengan aku, Mah. Entah mengapa, rasanya ada yang mengganjal dihati ini jika melihat dia.

Aduh, mah. Aku tidak tahu harus apalagi untuk merubah dia. Iya, dia...kakak iparku. Menantu mamah. Yang seharusnya bisa berbincang-bincang, jalan-jalan bersama atau hanya sekedar ngobrol. Tapi tidak dengan sekarang. Mamah sudah jauh. Mamah jauh meninggalkan kami sendirian tanpa mamah.

Mah, aku kangen saat mamah minta difoto-foto saat terakhir kita jalan-jalan ke Taman Mini sewaktu bersama keluarga. Difoto itu, mamah terlihat sangat bahagia. Aku senang melihatnya. Disaat aku memegang kamera dan dengan leluasanya Mamah bergaya seperti anak zaman sekarang. Aduh, Mah. Aku masih belum bisa menghapuskan bayangan tersebut. Maafin aku, mah. Maaf!

Pernah sempat, sewaktu ulang tahun mamah yang ke 45. Iya, aku pernah memberikan mamah surprise kecil-kecilan yang ku rancang sendiri. Saat itu tepat tanggal 12 oktober 2012 pukul 16:30. Aku akan memberikan kue ulang tahun sederhana yang dihiasi lilin-lilin kecil disetiap pinggirnya. Dan tepat pada waktunya, Mamah sedang mandi. Setelah menunggu Mamah mandi hampir20 menit, aku pergi keluar rumah untuk menyalakan lilinya, aku sedikit melirik ke dalam. Langsung saja ku nyanyikan lagu selamat ulang tahun, "Happy birthdaaay! Selamat ulang tahun Ratna ucapkan. Selamat ulang tahun..dan blablabla," Dan saat itu, aku tidak mengerti apa arti dari wajahmu. Antara syok, bahagia dan terharu mungkin. Aku memberikan doa yang terbaik untuk, "Mah, selamat ulang tahun. Ratna enggak bisa ngasih apa-apa untuk Mamah. Maafin Ratna jika Ratna belum bisa jadi yang Mamah inginkan. Semoga panjang umur. Dan segala penyakit yang Mamah punya dihilangkan oleh Allah! Amin." Mamah masih memperhatikan kata-kataku sembari meniup lilin ulang tahun Mamah. Setelah itu kita foto-foto. Di dalam foto itu, wajah kita sangat mirip, Mah. Ditambah kita berdua memakai kaca mata.

Tapi, itu adalah kue ulang tahun yang aku berikan untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Karna, tepat tanggal 08 Juli 2013 pukul 19:45 Allah telah memberhentikan nafas Mamah di dunia.

YaAllah, kuatkan aku!

Sudah beribu doa ku lantunkan kepadaNya. Sudah beribu janji yang ku berikan kepadaNya. Tapi tak ada harapan. Mungkin memang jalan takdirmu, Mah.

Masih banyak kenangan yang kau buat bersamaku. Masih banyak memori-memori indah terekam dalam otakku. Entah mengapa otakku terus mengalir dalam memutarkan rekaman itu.

Desir nadi terus berjalan tanpa ku suruh. Menjalankan seluruh saraf-saraf yang menghubungkan otakku.

Masih terasa sangat pekik. Bagaikan pelukan dalam hujan yang deras mengguyur pelantaran jiwa yang kesepian tanpamu.

Ku harap, semua tentang kau akan selalu terkenang. Meski janji, tak menangis jika mengingatnya pernah ku ingkari.

Selamat jalan Mamah. (almh. Ibu Sulastri binti Yotopawiro) Semoga kau tenang disisi Allah SWT.

RIP
Senin, 08 Juli 2013
19.45

L O V E Y O U M O M <3

Friday 15 November 2013

Supir kursi roda

"bruk..bruk..bruk"
Terdengar suara nyaring sepatu dari hentakan kaki. Pasti itu suara sepatu pantopel milik papah yang akan membawaku untuk kerumah sakit. Sudah kegiatan ku untuk setiap dua hari sekali check-up karena penyakitku yang menurut dokter cukup parah ini.
Hepatitis toksis. Iya, dialah yang menggerogoti setiap daging tubuhku. Dialah yang membuat aku menjadi seperti selembar kertas. Dialah yang menghilangkan setiap mimpiku dalam mengejar sebuah cita-citaku.
Aku ingin menjadi kupu-kupu disana, agar dapat ku kejar setiap jejak ketertinggalanku dalam mengarungi dunia ini.
Aku sedang berkhayal sembari menghadap ke arah taman yang ku desain dengan bantuan papah. Aku menulis setiap perasaanku lewat selembar kertas yang kubuat origami berbentuk burung yang kugantung disetiap dindang kamarku. Sudah berpuluh-puluh bentuk origami disudut dinding yang bercat hijau daun ini dengan tulisan-tulisan entah dari mana mengalir saja dalam otak ku.
"Fira sayang, sudah siap?" tiba-tiba Papa masuk ke dalam kamarku sembari melihat aku yang masih saja menulis. "Sudah berapa banyak karyamu, Fir? Mengapa tak kau tulis dalam format novel saja?" Kata Papah sembari matanya mengelilingi setiap bentuk origami yang ku gantung. "Membuat novel? Ada benarnya juga!" Batinku. Ah, tapi apakah aku sanggup menuliskan cerita-cerita yang entah aku tak pernah merasakan indahnya bermain di luar sana? Bukankah jika menuliskan cerita itu, harus kita rasakan dulu? Sedangkan yang kurasakan hanya berbaringan dikasur, bermain bersama Onyet si kucing persiaku. Atau hanya selalu rutin untuk minum obat? Kurasa, aku takkan sanggup!
"Tidak, Pah! Aku tak punya ahli dalam bidang seperti itu." kataku dan segera berdiri menggantungkan origami tulisanku di dekat jendela.
"Ah, yasudah. Itu terserahmu. Kalau kau ingin katakan saja pada Papah ya, Fir?" Pesan nya demikian, dan aku hanya menggangguk.
Pah, seandainya aku masih bisa seperti remaja lain nya. Masih bisa bermain hingga tak kenal waktu. Bisa jalan-jalan bersama para sahabat, pacar atau orang tuanya. Tapi, itu semua tak dapat ku lakukan, Pah. Apalagi, semenjak Papah bercerai dengan Mamah. Semenjak saat itu, aku tak punya harapan sekecil apapun itu dan setelah penyakit yang menggrogoti tubuhku ini. Batinku.
"Yaudah, kita langsung kerumah sakit yuk. Dokter Sisi sudah menunggu kita." Ucap Papah langsung membantuku berjalan dengan rangkulan ditangan nya. Tuh, jalan sedekat ini saja aku harus ada yang membantu. Bagaimana aku bisa hidup lebih lama?
Dibukakan pintu mobil sedan milik Papah. "Pelan-pelan sayang." kata beliau sembari melepaskan rangkulan tanganku dari pundaknya. Akhirnya, aku telah duduk rapih di bangku paling depan sembari kunyalakan iPad yang ku letakan dibangku belakang. Dengan jalan perlahan sembari ku lantunkan doa. Kami berangkat.
Aku masih asyik dengan lagu yang ku putar ini. "Pah, sebenarnya Papah jenuh tidak selalu merawatku? Papah tidak bosan selalu membawaku kerumah sakit?" tanyaku pada beliau.
Tuhan.. Jika yang terbaik itu tidak akan bertahan lama lebih baik lepaskan semuanya.
"Kenapa kamu menanya seperti itu, sayang? Papah tidak akan bosan merawatmu. Papah takkan jenuh menjagamu. Karna hanya kamu satu-satunya harta Papah yang paling berharga, sayang. Maka dari itu, kamu harus semangat melawan setiap penyakitmu itu. Kamu tak kasihan dengan tubuhmu? Coba kamu perhatikan? Kamu sudah sangat beda daripada sewaktu kamu masih SMA, sayang," Ujarnya dengan mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
Aku langsung saja melihat kaca yang berada ditengah atas antara kita. Ternyata benar, pipiku saja semakin tirus. Memang, aku sudah hampir sebulan ini kurang untuk melahap dengan nafsuku saat makan. Hanya saja, 1 piring yang disendukkan ke aku, baru 3senduk aku sudah minta berhenti. Ya... Karena kurasa memang aku sudah kenyang.
Entahlah... Aku hanya pasrah dan ikhlas kalau memang jalan takdir ku di dunia ini seperti itu. Aku yakin, ini adalah sesuatu yang terbaik yang Tuhan berikan untukku. Aku harus mempercayai takdir agar aku takkan tersesat dijalanNya.
"Yuk, kita sudah sampai." Papah mengagetkan ku yang sedang melamun memikirkan bagaimana takdir itu terus kulalui. Apakah semua takdir; termasuk aku selalu dibawa kerumah sakit ini akan sia-sia? Entahlah, hanya Tuhan yang mengetahuinya. Ku jalankan semua takdirku sesuai dengan jalanNya.
"Dek, tolong dong!" Seru Papah setengah berteriak kepada sosok lelaki berwajah tampan nan manis itu. Dialah, supir dari kursi roda untuk orang-orang yang tak kuat berdiri seperti aku.
Lelaki itu langsung menghampiriku, setengah berlari dan membantuku untuk duduk di kursi roda ini. "Tolong antarkan dulu putri saya ke dokter Sisi ya! Adik tahu kan?" kata Papah menyuruh lelaki itu sembari memberikan uang tip yang entah berapa Papah mengasihnya. Dan yang diajak berbicarapun mengangguk sembari melengkungkan bibirnya. Pertanda ia sedang tersenyum.
Biasanya yang membawaku ke ruangan dokter Sisi yaitu Pak Bayu. Tapi mengapa malah lelaki ini? Apakah dia telah menggantikannya? Ah! Sudahlah.
Ku lihat Papah telah masuk kembali kedalam mobil sedan hitam metaliknya. Dan segera mendarat dengan apik keparkiran yang tak jauh dari tempat aku duduk dikursi roda ini. "Yuk, nona. Saya antarkan ke ruangan dokter sisi," kata lelaki yang menyupiri aku dikursi roda ini.
Langsung saja aku dibawanya menuju ruangan dokter sisi yang memang masih berada dilantai satu. Dengan perlahan, ia berjalan melewati ramainya pengunjung rumah sakit ini. Banyak yang mengantre diloket pendaftaran. Hampir 3 baris orang-orang yang mengantre tersebut.
Aku hanya terdiam memandang ke arah depan. "Kamu baru ya?" tanyaku kepada lelaki itu. "Ah tidak! Aku hanya menggantikan Ayah yang sedang sakit dirumah," wah! Anak yang berbakti sekali. Aku sedikit takjub mendengarnya.
"Sudah sampai, Non." Katanya dan aku melihat sekeliling ruangan ini. Sepi. Hanya bisa terhitung memakai jari. Ku lihat papan berwarna hitam yang kira-kira berukuran 30x15 itu. Dr. Sisi Raymon Haikal. Aku mengangguk-anggukan kepala.
Setelah ku lihat ke arah kanan ku; dimana tempat lelaki itu berdiri. "Hei, jangan tinggalkan aku dulu," Aku sedikit berterik kepada lelaki itu. Ternyata dia pergi tanpa pamit.
Ku pegang roda dikursi ini dan ku hampiri lelaki itu. "Kamu tega sekali! Tidak lihat suasana sekitar? Tega ya, meninggalkan wanita penyakitan di tempat sepi seperti ini? Temaniku dulu hingga Papah datang," Ujarku kepadanya yang masih melihat tanganku yang berada pada lengannya. Uh! Aku tak sadar, jika aku menggapai tangannya. Ku kira tadi aku hanya memegang sebatas bajunya yang agak loggar itu.
"Maaf... Temani sebentar ya," Ucapku merengek seperti bak anak balita jika ingin bermain ditaman wisata.
Dia hanya mengangguk. Dan langsung saja duduk dikursi panjang ruang tunggu. "Maaf jika merepotkanmu.." Aku membenarkan letak posisi kursi roda menjadi lawan arah.
"Siapa namamu?" Aku bertanya lagi. "Adit," dia membuat lengkungan dibibirnya kepadaku. Senyuman yang indah. Manis. Persis seperti wajahnya. Ah! Entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari wajahnya.
"Itu, Papah Non datang. Saya pergi ya, Non!" Katanya dan langsung siap sedia untuk berdiri dari tempat kami duduki.
Ku dengar dia sedikit berbicara kepada Papah. Dan tiba-tiba saja dia menunjuk kearah ku dengan meninggalkan sebuah senyuman termanisnya. Ah! Tenang sekali perasaan ini.
"Sayang, kenapa senyum-senyum seperti itu?" Papah tiba-tiba mengngagetkan ku dengan pertanyaannya yang entah harus ku jawab apa. "Eh Papah, ah eng.. Enggak Pah," Aku berbohong. Tetapi sudah ku akui kalau Papah mengerti jika aku berbohong seperti itu. Buktinya Papah menyolek pipiku yang sudah seperti buah tomat.
Aku langsung didorongnya menuju ruangan.
***

Saturday 9 November 2013

Titipan kenangan



Angin merengkuhkan rasa gundahnya. Mengumpalkan perasaan itu ke semua orang yang menghirupnya. Sukses! Angin membuat hati ini begitu pekik terhadap suasana. Dengan gumpalan udara yang tak begitu bersih aku menghirup dalam-dalam hembusan angin tersebut. Ku rasakan memori terekam dan seketika ku pejamkan mata lamat-lamat.
Kembali terekam suasana yang begitu indah. Begitu syahdu dengan alunan lagu melow yang kau buat untukku. Waktu itu kita di taman sekolah yang begitu indah dengan banyak beragam macam tanaman hijau, kau mengatakan aku adalah sosok wanita yang kau cari-cari sejak dahulu. Kau selalu mengatakan rasa yang pernah kau berikan hanya untukku. Mungkin, karena terpaan setiap katamu yang begitu manis aku terbuai. Nyatanya, saat ini kau tidak baik untukku. Kau meninggalkan ku dengan semua kenangan kita.
Kau jahat! Sangat begitu jahat. Setiap untaian kata yang selalu kau berikan itu hanyalah angin semata. Angin yang menerbangkan setiap untuaian kata manis itu. Aku menyesal saat itu sangat percaya kepadamu kalau memang kau benar teramat sangat baik untuk ku.
Aku sedih saat kau bilang kau titip semua kenangan kita. Aku sangat sedih! Aku tak mengerti apa maksud semua itu. Apa maksud dari pembicaraan itu? Aku memang ssudah memendam rasa curiga saat sebelum kau mengucapkan kata-kata yang tak ingin ku dengar itu.
Aku langsung bertanya kepada kamu, “Maksud kamu? Kamu ingin kita menyudahi semua hubungan ini?” Tanyaku dengan raut yang sangat begitu serius. Ku rasakan tiba-tiba angin tampak begitu kencang hingga rambutku yang terurai langsung saja terhembuskan oleh terpaan udara. “Ku rasa kamu bosan dengan aku,” Katanya dengan santai sembari mengirup dalam-dalam rokok yang merupakan makanan sehari-harimu. Kau yang hanya memakai kaus oblong dan celana jeans ketatmu dan beralaskan kepala—topi—yang entah gaya apa tak ku mengerti itu, berbicara dengan santai mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Kamu sok tahu!” Seruku langsung bersandar di kursi yang sedang kita duduki naungannya. Tempat biasa kita, taman kota. “Apa buktinya?” Tanyaku kembali sembari menelaah setiap kata yang ia keluarkan. Tapi yang ku dengar dari ucapanya, dia hanya memutarkan fakta apa yang diucapkan. Kurasa yang bosan dengan hubungan ini adalah dia. Iya kamu! Batinku.
“Tidak ada alasan lain? Punya yang baru?” Tanyaku sangat curiga. Sempat tersenggak karena kebulaan asap rokok yang ia keluarkan. “Pasti punya yang baru kan? Sudah, alasan kamu basi! Kenapa enggak jujur saja? Dan enggak usah memutarkan fakta begitu, kalau nyatanya kamu yang bosan denganku,” Aku langsung berdiri meninggalkan ia sendiri. Ditaman kota itu.
***
Udara yang ku hembuskan di pagi hari ini adalah udara yang ke dua minggu tanpa kamu menemaniku. Tanpa kamu disisi ku. Setelah acara kita bertengkar di taman kota itu, kamu hanya meminta maaf lewat pesan singkat dan entah di telan bumi yang mana tiba-tiba kamu menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Dan tanpa sepatah katapun kamu menggantungkan hubungan kita.
Jujur saja, aku merindukan kamu. Aku merindukan perhatian kamu yang dulu. Aku merindukan ocehaan kamu jika kamu memarahiku dengan penuh kasih sayang mu. Ahhhhhhhh! Ku teriak sekencang-kencangnya di danau yang sepi ini. Aku bosan merindu. Aku bosan terus-terusaan menunggu kamu yang tak pasti datang ini.
Tapi selain itu aku harus apa? Apakah aku harus mengelilingi dunia yang besar ini untuk mencarimu? Sudah sering ku mengunjungi tempat tinggal mu, tapi yang kutemukan apa? Tak ada seorang pun disana. Sudah ku temui teman-teman sepermainan mu dan yang mereka katakan kalian sudah lama tak bertemu.
Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku harus melupakanmu? Apakah aku harus mematikan rasaku untukmu? Apakah memang semua ini harus disudahi?
Aku baru tahu bahwa kamu tak sebaik yang ku perkirakan. Seharusnya dahulu aku mendengarkan perkataan temanku yang menyatakan kamu tidak baik. Kamu hanya gitaris yang belum terkenal. Dan kamu pengangguran...... Iya! Seharusnya aku percayai perkataan teman-temanku itu. Ah sudahlah! Nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Rasa ini sudah berkembang melampaui batasan. Aku tak kuat untuk menahannya lagi. 
Terekam kembali ingatan mimpi tentang kamu dahulu. Dimana kamu adalah pemeran utama dalam sebuah film romantis. Dan aku adalah seorang kekasih dari kamu. Banyak hal-hal yang membuat aku terpincut atas rayuan-rayuan gombal mautmu yang membuat aku tergelitik tersenyum.
Ah sudahlah! Aku lelah terus-terusan untuk bermimpi. Bermimpi yang tak sanggup ku gapai kembali.
Aku pulang dengan perasaan kacau menghadang. Ku lihat sekeliling ramai dipenuhi dengan segerombolan orang-orang sibuk yang sedang menenteng tas-tasnya. Ya! Dialah pegawai-pegawai kantoran yang kerjanya menyibukkan diri didepan laptop bak seorang bos. Yang nyatanya hanya tukang suruh-suruh.
Sedang asyik aku melihat-melihat sekeliling. Terlihat ada kecelakaan depan mataku. Orang-orang langsung berhamburan menghampiri. Tapi aku mengenal motor yang baru saja tertabak itu. Aku diam. Aku bergeming. Aku berfikir keras. Ya Tuhan..... Tamaaaaaaa! Aku berlari menghampiri Tama, iya dia pacar ku yang sedang kucari-cari sejak dua minggu terakhir ini.
Ku lihat dia sudah tak sadarkan diri. Aku langsung meminta tolong pada khalayak ramai. Aku hanya terlihat seperti orang bingung. Fikiran ku kosong. Jalan buntu sedang menghadang otakku. Air mataku tiba-tiba saja turun melewati pipi. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, “Neng...neng... Ayo cepat naik ke mobil. Kamu pacarnya kan?” Tanya bapak-bapak yang sedang ada dibangku sopir sebuah mobil hitam metalik. Ah aku baru tersadar. Langsung saja aku naik di bangku penumpang belakang sopir yang nyatanya disana ada Tama, pacarku.
Ya Tuhan, Tama. Aku kangen sama kamu. Kenapa kita bertemu saat kamu sedang seperti ini? Kenapa kamu datang padaku lagi disaat kamu begini? Tama, kamu kemana saja? Aku sudah lama terus mencari mu. Aku rindu denganmu. Aku rindu dengan kita. Maafkan aku, sewaktu dahulu pernah egois sama kamu. Maafkan aku...
Pipiku telah basah oleh deraian air mata yang melewatinya. Sempat airmata ini jatuh di lembutnya pipi Tama yang sedang terbaring lemah ini. Ah! Seharusnya aku tak boleh menangis. Disini ada Tama, Tama tak suka melihat perempuan menangis. Tapi kalau dengan keadaan mengkhawatirkan seperti ini aku tak boleh menangis juga? Tamaaaa! Ayo bangun! Aku kangen sama kamu. Aku janji, kalau kamu bangun aku tak akan menangis kembali.
Nyatanya setelah sampai rumah sakit ini kamu tidak bangun juga. Ah Tama! Kamu jahat sekali. Kamu tahu tidak? Aku tuh capek terus-terusan menunggu. Aku terlalu banyak menunggu. Terlebih menunggu kamu. Sudah sering kamu membuat aku menunggu. Salah satunya, menunggu kamu bangun dari koma kamu ini.
Sudah dua hari kamu koma dari kecelakaanmu itu. Polisi menyangkal bahwa kamu menerobos lubang yang dalam sehingga kamu jatuh dan helm yang kau kenakan loncat dari kepalamu dan akhirnya kepalamu terbentur entah benda apa. Yang jelas, hingga sampai saat ini akibat kamu koma.
“Tama, ayo bangun sayang. Kamu enggak capek ya tidur mulu? Pinggangmu memang tidak pegal, sayang? Kasihan badanmu, sudah kurus begini. Sudah banyak lho tadi temanmu yang menjengukmu. Dan disini juga ada orang tua kamu. Kamu enggak kasihan melihat mereka terus menangisi mu? Ayo sayang, bangunlah. Aku rindu denganmu. Ayo kita lalui semuanya bersama. Aku tidak bosan kok denganmu, yang ada mungkin kamu yang bosan denganku. Janji deh, aku enggak bakalan membuat kamu bosan. Aku janji akan selalu ada untuk mu, makanya bangun dong sayang. Aku sayang sama kamu.....” Kataku terus berbicara sendiri dengan badan Tama yang penuh dengan luka dibagian kaki dan tangannya. Tanpa jiwanya yang mungkin sedang berjalan-jalan entah kemana.
Ah! Kulihat ada air bening dipelupuk mata Tama. Tuhan, sudah sadarkah Tama? Langsung saja, ku panggilkan dokter dan suster-suster yang merawatnya. “Maaf, mbak. Silahkan keluar dahulu. Kami akan memeriksa pasiennya.” Aku diusir keluar untuk menjauhh dari Tama. Yasudah, aku langsung bergegas keluar meninggalkan Tama dan membiarkan diperiksa oleh seorang dokter yang tak perrnah ku sukai itu.
“Bagaimana Tama, Dya?” Tanya Ibu Tama agak sesegukan. Ternyata dia masih menangis. Ia masih tak percaya bahwa Tama kecelakaan. “Aku enggak tahu, Tante. Tapi tadi aku melihat Tama menangis setelah aku menyemangati dia untuk bangun dari koma. Aku takut, Tante. Aku sayang sama Tama...” Aku memeluk Ibu Tama. Dengan sekuat tenaga aku menahan air mata ini untuk tidak jatuh kembali. “Ibu juga, Dya. Ibu juga sangat sayang sama Tama,” Ucap Ibunya Tama sembari masih sesegukan menahan ingus yang ingin keluar dari hidungnya.
“Disini ada yang namanya Nindya?” Kata suster yang tadi mengusirku. “Iya saya sus,” Kataku sembari tunjukkan tangan. “Silahkan masuk, dari tadi pasien memanggil nama anda.” Ucap suster dengan nada yang kurang meyakinkan.
Aku berlari langsung menghampiri kekasihku. Dan para perawat dan dokter pun segera keluar. Aku langsung membelai wajahnya. Matanya yang sayu, pipinya yang sangat tirus, wajahnya yang begitu pucat. Ah! Aku tak pernah melihat kekasihku seperti ini. “Nindya, maafkan aku,” Kata Tama agak terbata-bata. “Sssstt, sebelum kamu minta maaf aku sudah memaafkanmu, Tam.” Kataku dan dia menyambut tanganku yang berada dipipinya. “Aku sayang sama kamu,” Katanya kembali. Perasaanku semakin tak karuan. Aku memanjatkan doa dalam hati agar tak terjadi apa-apa dengannya. Aku tak ingin kehilangannya untuk kedua kali.
“Aku juga,” Jawabku singkat. Tanpa sengaja air mataku terjatuh entah maksudnya apa. “Ah kamu cengeng. Kan sudah ku bilang jangan pernah menangis walau dalam keadaan duka sekaligus,” Katanya sembari mengapuskan air mataku yang sudah mengalir deras dipipi ini dengan jari-jarinya.
“Sungguh, ijinkan aku menangis Tam, aku takut,” Kataku semakin menjadi-jadi perasaan yang berkecamuk ini. “Jangan takut, sayang. Kalau memang kita jodoh pasti kita dipertemukan kembali, sekalipun itu di surga sana.”
“Tamaaa! Jangan berbicara seperti itu. Aku enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya. Kamu enggak tahu kan? Aku capek merindu. Aku capek selalu terus-terusan menunggumu untuk pulang. Aku enggak bisa jauh dari kamu...” Ucapku dari hati. Baru sekali ini aku mengucapkan kalimat tersebut.
“Iya, maafkan aku ya. Aku sebenarnya punya satu rahasia. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” katanya sembari melengkungkan bibirnya yang manis tesebut. “Aku terkena kanker paru-paru. Dokter juga sudah bilang kalau hidupku sudah tak lama lagi, makanya dua minggu yang lalu aku minta kamu untuk menjaga kenangan kita. Aku enggak mau lihat kamu sedih. Dan aku juga enggak pernah mencari kamu lagi. Menghubungi kamu lagi. Biar kamu enggak sedih, sayang. Tapi, Tuhan berkehendak lain, kita dipertemukan lagi. Jadi, aku minta kamu berjanji ya, jika memang aku sudah tak pernah bisa disampingmu kembali, jangan pernah menunggu ku untuk kembali. Jangan pernah untuk menangisi ku lagi. Dan aku hanya ingin menitipkan semua kenangan kita. Maafkan aku, jika aku harus menyudahi hubungan ini. Maafkan aku, aku terlalu banyak kesalahan, sering menyakiti hatimu. Ku lakukan semua itu, karena aku sayang sama kamu. Janji ya? Kalau aku sudah enggak ada disampingmu. Kamu harus mencari penggantiku secepatnya. Harus bisa lebih dari aku, bukan hanya seorang pengangguran yang hanya dapat duit jika ada job bermain gitar. Bisa ya?”
“Tamaaaaaa,” aku memeluknya dengan erat. Sangat erat, aku ingin jika Tuhan mengambil nyawa Tama, sekalian saja nyawaku juga. Bisakah aku hidup tanpa Tama?
“Uhukk..uhukk...Jangan terlalu keras peluknya, Nindya sayang. Enggak bisa nafas nih.” Katanya dan refleks aku melepaskan pelukanku. Ku harap ini bukannlah pelukan yang terakhir. “Kamu bisa janji ya, sayang?” Tanyanya sembari membelai lembut kepalaku. “Kamu sayang kan sama aku? Pasti bisa lah...” Dia tersenyum. Senyum manisnya yang ia keluarkan itu. Senyum yang sering diberikan untukku. Aku menganggukan kepala. Tapi, ku lihat Tama agak sulit bernafas. Tuhan, jangan bilang kalau.......
Aku berlari keluar memanggil dokter dan para suster yang tadi memeriksa Tama. Sudah beribu doa ku lantunkan untuknya. Kami disini sudah hampir setengah jam menunggu untuk Tama. “Bagaimana keadaan anak saya dokter?” Tanya Ibu Tama saat dokter baru saja keluar dari ruangan ICU yang sudah dua hari dilalui oleh Tama. “Maafkan kami, Bu. Tuhan berkehendak lain. Kami sudah sekuat semampu kami menolong anak Ibu...” Dokter yang telah ku ketahui bernama Indra Gunawan itu berucap.
Aku hancur. Aku hancur. Aku hancur belebur-lebur. Aku lari entah kemana aku ingin berlari. Aku ingin menjauh dari tempat ini. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sedang hancur.  
Tama kamu tega, sayang! Untuk kedua kalinya kamu meninggalkanku. Dan ini adalah yang terakhir, aku takkan pernah memilikimu kembali.
***
Jam 10 pagi tepatnya, disaat matahari mulai menyeruakan panasnya untuk menyinari bumi. Tama telah dikebumikan. Banyak orang yang menangis, kecuali aku. “Sayang, aku sudah menepati janjiku kan. Nih, aku tak menangis meskipun itu duka. Aku enggak menangis kan? Tama, kamu jahat banget sih, aku rindu sama kamu. Sudah lama kita tak berjumpa. Mengapa disaat kita berjumpa kembali, kamu malah langsung meninggalkan aku sendiri disini tanpa kamu lagi? Ah! Tama, aku sayang sama kamu. Apakah aku bisa menjaga titipan kenangan kita? Apakah aku sanggup? Demi kamu aku akan menjaga titipan kenangan dari kamu. Kamu disana baik-baik ya sayang. I Love You, Tama......