Dreamer!

Tuesday, 5 February 2013

Maaf, ku telah temukan penggantimu (Drama)




Dimalam yang dingin ini aku sendiri. Ya! Sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku sedang melihat arah langit. Entah apa yang kurasakan, tapi pada kenyataannya melihat langit itu seperti sedang curhat dengan sosok manusia disana. Ini bukan berlebihan, tapi ini memang sebuah kenyataan yang sekarang sedang ku alami.
Tiba-tiba gemericik air menetes menempuh pipiku yang dianugrahi lesung pipit ini. Oh, ternyata hujan datang lagi. Tidak bosan-bosannya langit menangis terus-menerus mengguyur ibukota akhir-akhir ini. Akhirnya, kuniatkan untuk kembali kedalam kamar ku dan melihat kearah telepon genggam ku. Tak ada pesan dan tak ada telepon dari siapa-siapa. Dengan bermalas-malasan aku menelepon Dimas. Ya! Dimas adalah sahabat sekaligus sosok orang yang kusayangi akhir-akhir ini.
Aku        :  “Hallo.” (dengan suara seperti orang yang tak niat nelepon)
Dimas   :  “Hallo, key. Ada apa? Kok belum tidur?”
Aku        :  “Hah. Gak ada apa-apa kok. Belum bisa tidur nih. Lo sendiri?” (sembari ku berbaring dikasur empukku)
Dimas   :  “Iya nih, Key! Belum bisa tidur juga. Biasanya kan, emang gue tidur pagi kali.”
Aku        :  “Iya sih. Tapi ini sudah jam 1 pagi lho! Besok kan sekolah.”
Dimas   :  “Emang! Lo aja belum tidur kan? Hayo.. Kenapa lo belum tidur juga?”
Aku        : “Gak bisa tidur gue. Udaranya dingin banget. Liat deh tuh! Langitnya nangis terus. Uh!” (Aku menarik napas dalam)
Dimas   : “Aduh, kasihan banget sih temen gue yang satu ini. Mau gue peluk gak nih? Hehehe” (Sembari tertawa, tapi hanya tawaan nyengir)
Aku        :  (aku tersipu malu) “Makasih deh. Gue masih punya guling kok, yang bisa gue peluk!”
Dimas   :  “Yaaaa.. tapikan, guling yang lo punya gak sehangat pelukan gue…..Eaaaak!”
Aku        :  “Ah, bisa aja lo!” (Aku hanya tersenyum malu)
Dimas   :  “Yaudah, guling itu anggep gue aja ya…”
Aku        :  (Aku tak menjawab, tetapi hanya mendengus senang. Uh!)                
Hening beberapa detik……
Dimas   :  “Hallo, Key! Masih hidup kan?”
Aku        :  “Ngg…Eh iya. Iya, masih lah!” (Aku langsung gelagapan)
Dimas   :  “Oh. Kirain…. Lo gak tidur?”
Aku        :  “Sebenernya sih udah ngantuk. Tapi lagi kangen nih. Duh..” (Aku menggarukan kepalaku yang tidak gatal)
Dimas   :  “Pasti kangen lagi ya sama Remi? Gue tau kok perasaan lo. Yaudah ikhlasin aja, kalo lo ikhlasin, pasti gak bakal keinget lagi deh. Percaya deh sama gue.”
Aku        :  “Gue juga ngerti, Mas. Tapi gak segampang itu. Butuh waktu juga kali. Dia ninggalan gue kan baru 3bulanan. Masa iya, gue langsung ngelupain dia gitu aja. Gak mungkin.”
Dimas   :  “Iya, gue juga ngerti. Mau gimana lagi ya. Udah takdir sih. Mending lo cari penggantinya aja deh!”
Aku        :  “Susah sih, Mas. Tapi akan gue coba.” (sembari memikirkan wajah Dimas) Mungkinkah lo pengganti Remi? (Batinku berbicara)
Dimas   :  “Yaudah, mending lo tidur. Gak baik cewek tidur larut malam.”
Aku        :  “Iya. Yaudah thanks ya, Mas. Good nite.”
Dimas   :  “Anytime ya. Good nite juga..”
                Tak ada jawaban dariku lagi. Tapi jika ada orang yang melihatku disini, pasti aku disangka orang gila karena aku sedang senyum-senyum sendiri. Uh! Jadi memikirkan hal yang bukan-bukan tentangnya.
                Ya! Benar sekali. Dimas sosok orang yang ku sayangi tersebut. Sebenarnya sih, aku tidak hanya ingin menjadi sahabatnya saja, tapi ingin lebih. Ah! Tak mungkinlah jika hal itu terjadi! Aku gak mau terjadi yang menyakitkan hati ku lagi. Seperti kejadian 3bulan yang lalu.

Keesokan Paginya…
                Sang mentari sudah terbit kembali. Untungnya aku tak telat bangun. Aku sudah siap lalui hari ini dengan ceria. Aku turun ke lantai bawah, melihat Bunda sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Ya! Tepatnya untuk Ayah, Aku dan Satria. Adikku.
Bunda   :  “Pagi, Keisya sayang!” (Sembari sibuk menyiapkan makanan yang sudah dimasak sejak subuh tadi)
Aku        :  “Pagi juga, Bunda. (Aku melihat sosok Ayah, yang juga ingin sarapan bersama keluarganya) Pagi, Ayah.”
Ayah     :  “Pagi, sayang. Loh? Adikmu kemana?” (sambil celingak-celinguk mencari sosok Satria)
Aku        :  “Gak tau, Yah. Tadi sih, sudah aku teriakin kekamarnya. Pasti dia telat bangun lagi.”
Bunda   :  “Yasudah. Bunda bangunkan dulu. Kalian sarapan duluan saja.” (sambil berjalan kekamar Satria yang  letaknya bersebelahan dengan kamarku)
Aku        :  “Iya, Bun! Suruh cepet bangun ya, Bun. Kalo telat aku tinggal!” (suaraku sedikit kutekan pada penggalan kata ‘tinggal’)
                Sementara Bunda memanggil Satria. Aku dan Ayah mulai menikmati hidangan yang telah Bunda siapkan.
                Dan ditengah keseriusanku menikmati segelas susu kental manis, tiba-tiba Ayah bertanya.
Ayah     :  “Key, kamu tadi malam tidur jam berapa?”
Aku        :  (Aku terkejut. Kaget) “Memangnya kenapa, Yah?”
Ayah     : “Enggak, kemarin Ayah; sekitar jam 1 an pagi, mendengar dikamar kamu seperti ada orang yang ngobrol. Tapi kayak sedang teleponan gitu. Itu kamu? Emang kamu tidur jam berapa?”
Aku        :  “Hehehe (tertawa nyengir) Iya, Yah. Itu aku! Aku lagi teleponan sama Dimas. Aku gak bisa tidur, Yah. Lagi kangen sama Remi.” (Air mukaku langsung sedih)
Ayah     : “Oh gitu.. Yaudah lain kali jangan seperti itu lagi ya. Jangan sampai tidur larut malam begitu. Gak baik perempuan tidur malam seperti itu. Kalau kamu ingin curhat, Ayah siap kok mendengarkan. Gak usah nunggu kamu atau Dimas nelepon, kalau hanya ingin curhat.” (sembari ngusap keningku yang ditumbuhi oleh poni rambutku dengan penuh kasih sayang)
Aku        :  “Iya, Yah. Makasih yaa…”
                Dengan tiba-tiba adikku datang dan menyuruhku untuk buru-buru kesekolah karna waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh kurang lima. Aku kesekolah berdua dengan Satria membawa motor. Karena sekolah kami lumayan jauh dari rumah, makanya Ayah memperbolehkan kami membawa motor ini. Walaupun Bunda melarang keras.
Aku        :  “Nih! Bawa motornya. Nanti kalau sudah sampai sekolah lo. Baru gantian!” (Sembari memberikan kunci motor padanya)
Satria    :  “Yeee.. sama aja gue yang boncengin lo ini, mah! (Sambil naik kemotor dan memakai helmnya) Yaudah gue ngebut ya. Sudah telat soalnya ini.”
Aku        :  (Sembari memakai hel juga) “Ini semua kan gara-gara lo! Yaudah serah lo deh”
                Setelah perjalanan dari rumah kesekolah Satria tak berbicara sedikit pun. Jika aku lihat dari raut wajahnya, sepertinya ia sedang ada masalah. Ku pikir mungkin masalah belajarnya. Oh, atau mungkin ada hubungan dengan perempuan yang waktu itu kudengar sedang meneleponnya? Entahlah.
Satria    :  (sembari melepas helm yang sejak tadi dipakainya dan memberikannya kepada ku) “Gue duluan ya, Kak. Nanti jemput gue lagi seperti biasa.”
Aku        :  (Aku hanya memberikan satu jempol keatas pertanda ‘oke’)
                Dan sesampainya aku disekolah. Ternyata aku juga telat, kemungkinan telat lima menit. Karena pintu gerbang sudah ditutup, aku mematikan mesin motorku dan menuntunnya untuk sampai ke parkiran dekat pos satpam. Tapi, aku melihat sosok yang tak asing sedang berdiri di warung depan sekolah. Oh! Ternyata. Dimas. Si cowok badung tersebut.
Aku        :  (sambil menggapai pundaknya) “Heh! Bukannya masuk, malah nongkrong disini.”
Dimas   :  “Lah, lo sendiri? Ngapain disini? Bukannya masuk!”
Aku        :  “Gue disini…hhmm (Sembari mikir) ngg.. yaaa..  buat nyuruh lo masuk lah. Gue telat nih!”
Dimas   :  “Yaelah, bilang aja sih. Kalau mau masuk bareng gue. Pake segala nasehatin gue lagi! haha” (dia menertawakanku)
Aku        :  “Yaudah ah! Ayo masuk.” (sembari menuntun motorku dan Dimas menuntun motornya juga)
                Aku melihat Bu Fitri di meja piket. Aku sudah tau apa hukuman yang akan diberikan oleh Bu Fitri kalau ada yang terlambat masuk sekolah. Ya! Lari dilapangan sebanyak 5putaran. Aku mengambil nafas dalam-dalam sebagai pengganti pemanasan sebelum aku lari. Biasanya aku lari 2 putaran saja sudah terasa capeknya. Gimana 5 putaran dengan luas lapangan yang sangat lebar. Ya! Kalau dibandingkan luas lapangan SMA ku sekarang 2 kali lipat luas sekolah SMP ku dulu.
Dimas   :  (Melihat kearah ku, yang sudah terlihat lemas sebelum kami lari) “Biasa aja kali, Key! Kita belum lari nih. Lo udah kayak gitu. Gimana udah larinya?”
Aku        :  “Ah, diam aja lo! Gue gak senang olahraga tau! Apalagi lari gini,”
Dimas   :  “Hahahaha..” (Dimas menertawakanku)
                Akhirnya larinya pun selesai. Dimas biasa saja. Tak terlihat capek sedikit pun. Tapi aku? Air keringat saja sudah seperti air aku mandi.
                Pelajaran pun telah usai. Anak murid berhamburan untuk keluar. Ada yang berdorong-dorongan dianak tangga seperti anak bocah yang sedang bercanda. Ada yang sibuk ngotak-ngatik hp nya untuk minta dijemput. Ada yang sibuk membawa buku dipangkuan tangannya sembari ngobrol dengan sangat serius. Yaa.. begitulah, acara jika sekolah sudah dibubarkan.
                Aku langsung ke parkiran. Tempat aku menaruh motorku. Dan aku bergegas untuk menjemput adikku. Ya! Satria.
                Sudah menunggu hampir setengah jam. Tapi Satria tak kunjung datang ketempat biasa aku menunggunya. Atau mungkin dia ada jam pelajaran tambahan? Entahlah. Akhirnya, aku masuk kedalam sekolahnya. Ya! SMP Prasadana. SMP yang pernah aku tempati bersama dengan Remi. Banyak kisah disekolah ini yang kujalani. Susah, senang, duka, gembira.
                Disaat aku sedang mengenang masa-masa SMP, aku melihat Pak Sisawadi. Ya! Satria bilang. Pak Siswadi ini wali kelas dari kelasnya Satria.
Aku        :  “Permisi, Pak. Masih kenal kan sama saya?” (Sembari menyalami. Tanda aku sopan terhadapnya)
Pak Sis :  “Whaa.. Iya dong. Kamu Keisya kan? Murid yang jago dalam pelajaran biologi? Sedang apa disini?”
Aku        :  “Alhamdulillah kalau Bapak masih kenal. Saya disini, sedang mencari Satria, Pak. Adik saya. Memang ada jam pelajaran tambahan ya, Pak? Kok dia belum juga keluar ya?”
Pak Sis :  “Oh, Satria? Itu Adik kamu? Pantas saja kamu sangat mirip dengannya. Anak kelas 3 sudah pada pulang kok. Memangnya dia gak bilang sama kamu, mau jemput jam berapa?”
Aku        :  “Tidak tuh, Pak! Oh. Kalau begitu, terima kasih ya, Pak! Salam untuk guru-guru yang lain. Assallamualaikum..” (Aku langsung pergi dari hadapannya dan berniat untuk cepat-cepat pulang kerumah)
Sesampainya dirumah…
Aku        :  “Assalamualaikum.. Bundaaaaaa..” (Aku berteriak mengucapkan salamnya)
Tak ada jawaban..
Aku        :  “Bundaaaaaaaaaa….” (Kembali lagi, aku memanggil namanya sembari teriak)
Bunda   :  “Apa sih, Key! Gausah teriak-teriak gitu. Kuping Bunda masih normal.” (Suara Bunda tak kalah kencang)
Aku        :  “Iya, maaf, Bun. Oh iya, Satria udah pulang? Tadi aku jemput disekolahnya. Kata wali kelasnya sudah pulang. Benar, Bun?”
Bunda   :  “Ah, enggak. Adikmu belum pulang. Gak ada siapa-siapa kok disini. Cuma ada Bunda.”
Aku        :  (Terkejut) “Serius, Bun? Terus Satria kemana dong? Aduh, dia sekolah gak pernah bawa hp lagi..”
Bunda   :  “Lah.. kamu gimana? Adiknya sudah dijemput belum?”
Aku        :  “Ih, kan tadi udah aku bilang. Kata Wali Kelasnya semua murid sudah pulang, Bun,”
Bunda   :  “Terus adikmu kemana?”
Aku        :  “Sudah lah, Bun. Satria kan sudah gede. Pasti dia sama pacarnya.”
Bunda   :  “Kok kamu bisa berfikiran seperti itu? Adikmu kan anak baik-baik. Kalau dia sedang suka seseorang pasti cerita kok ke Bunda. Aduh.. Bunda, jadi punya firasat gak enak nih.”
Aku        :  “Yaudah, nanti Key cari sama Dimas. Bunda tenang saja.”
Bunda   :  “Yaudah, cari yang benar ya, Key!”     
                Setelah aku berbicara dengan Bunda tentang kehilangan Satria. Aku langsung menghubungi Dimas untuk minta pertolongan mencari Satria.
Aku        :  “Hallo, Mas.”
Dimas   :  “Iya, kenapa, Key?”
Aku        :  “Boleh minta tolong gak? Satria belum pulang, Mas. Padahal udah mau magrib nih. Bunda dari tadi khawatir. Takut Satria kenapa-kenapa.”
Dimas   :  “Yelah. Satria udah gede kali, Key! Wajar-wajar aja lah, dia badung gitu. Belum pulang sekolah sampai sekarang. Paling lagi nongkrong sama temen-temennya.”
Aku        :  “Tapi, Mas. Sebadung-badungnya dia pasti izin sama Bunda. Nah ini, sama sekali enggak. Dan waktu gue berangkat sekolah tadi, wajah dia itu kayak ada masalah. Gue jadi firasat gak enak nih, Mas. Bantuin gue kek!” (Aku memaksanya)
Dimas   :  “Yaudah, gue kerumah lo nih. Sekarang! Tunggu dipintu pagar.”
Aku        :  “Yap!”
                Aku segera keluar dari kamar ku. Dan melewati beberapa anak tangga supaya dapat turun kebawah. Dan langsung menuju pintu keluar agar dapat sampai ke pagar depan rumah.
                Baru aku menunggu sekitar 5 menit. Tiba-tiba Dimas sudah sampai didepan pintu pagar rumah ku.
Aku        :  “Sorry ya, Mas. Gue ngerepotin lo!”
Dimas   :  “Udah naik!” (Sembari memberikan helm untuk ku)
Aku        :  “Thanks. Gue bingung harus kemana nih? Soalnya dia jarang keluar rumah. Kalau kaluar rumah juga biasanya sama gue.”
Dimas   :  “Tenang aja. Gue tau tempat anak SMP nongkrong. Kita coba kesana!”
                Sampailah kami ditempat yang kurang mengenakan. Ya! Tempat yang sangat kumuh. Disekitaran kompleks. Tapi bukan perumahan. Melainkan kompleks tempat anak badung.
Aku        :  “Eh, Mas. Lo yakin? Gak mungkin ah. Satria disini!”
Dimas   :  “Coba cek dulu kedalam!”
Akhirnya aku paksakan kaki ku untuk masuk kedalam ruangannya. Dan aku melihat tas ransel yang tak asing bagiku. Ya! Tas itu milik Satria. Tapi kemanakah Satria?
Aku        :  “De, liat yang punya tas ini?” (aku bertanya salah satu temannya sembari memegangi tas milik Satria)
Si A        :  “Oh Satria ya, kak? Dia lagi dibelakang tuh!” (Sembari menunjukan ketempat Satria berada)
Temannya itu seperti sedang mabuk. Aduh.. gak mungkin banget Satria ada disini. Akhirnya, untuk meyakinkan diriku. Aku kebelakang. Ya! Kebelakang yang tadi ditunjuk oleh bocah yang sedang mabuk itu.
Aku        :  (Aku melihat sosok Satria sedang ciuman dengan cewek. Entah itu pacarnya atau bukan) “Satria!!! Astagfirulloh… Lo ngapain dek disini?  Lagi ciuman lagi. Diajarin siapa sih lo kayak gini? Pulang lo sekarang! Gue aduin Bunda sama Ayah lho! Pulang sekarang!” (Aku sembari menarik kasar tangan satria untuk pergi dari tempat biadab itu)
Satria    :  “Aduh, kak. Maafin gue ya! Jangan bilang Ayah sama Bunda dong. Plis. Gue janji gak akan lakuin ini…. lagi.” (Dia memohon kepadaku dengan air muka bersalah)
Aku        :  (Aku sudah terlajur sangat kesal) “Ah! Bodo amat! Gue bilangin Bunda sama Ayah pokoknya!”
Kami sampai didepan pintu dan disana Dimas masih setia menungguku. Walaupun dengan sepuntung rokok disela-sela jarinya.
Aku        :  “Ini lagi. Suruh nunggu kan bisa gausah pake ngerokok! Buang tuh rokoknya! (Aku menunjuk ke puntung rokoknya) dan Lo, dek! Naik lo! Lo ditengah! (Aku memaksa Satria untuk naik diatas motor gede Dimas). Ayo buru jalan!” (sembari mencubit pinggang Dimas agar cepat pulang. Dengan secepatnya)
Dimas   :  “Yelah. Galak amat sih Mbak!” (Aku hanya diam)
                Aku telah sampai didepan rumah. Bunda sudah menanti setia didepan pagar rumah. Mungkin dia melihat sinar lampu motor milik Dimas. Maka dari itu, beliau langsung lega melihat kami.
Bunda   :  “Duh, sayang! Kamu dari mana aja? Kok magrib begini baru pulang?” (Bunda bicara pada satria dengan sangat khawatir)
Aku        :  (Sembari menyuruh Bunda masuk kedalam bersama Satria dan tidak lupa Dimas) “Lihat deh, Bun. Kelakuan anak Bunda nih. Diam-diam menghanyutkan loh! (Aku berbicara dengan lantang. Dengan nada marah dan kesal) Ayo lo bilang sendiri ke bunda atau gue nih yang bilang! (Jariku menunjuk-nunjuk Satria)”
Satria    :  “Bundaaaaaaa.. maafin Satria ya, Bun! Satria udah jadi anak nakal, Bun. Maafin Satria.” (Sembari memeluk Bundanya)
Bunda   :  “Yaudah, lain kali kalau ada kerjaan yang harus diselesaikan izin dulu sama bunda. Biar bunda gak cemas yaa.”
Aku        :  “Bunda, bukan itu yang jadi masalahnya, Bun! Tau gak , Bun? Ank bunda ini mojok-mojok sama cewek di kompleks samping!!!” (Suaraku semakin tinggi dan menekankan kata ‘mojok-mojok’)
Bunda   :  “Apaaaa????” (Bunda Kaget)
Plak!! Satu tamparan talak mengenai pas dipipi Satria.
Bunda   :  “Satria? Benar yang dibilang kakak mu?”
Satria    :  “Maafin Satria, Bun. Satria janji gak akan ngulangin.” (Dia menangis)
Bunda   :  “Siapa yang ngajarin kayak gini? Bunda gak pernah ngajarin kamu hal yang senakal ini. (Bunda ikut menangis) Gak! Sudah! Bunda capek! Kamu sekarang masuk kamar! Berangkat dan pulang sekolah kamu diantar sama Ayah. Nanti bunda sendiri yang bilang sama Ayah! Ayo! Sekarang kamu masuk kamar! (Bunda menujuk ke lantai atas. Kamar Satria)
                Aku jadi merasa tak enakan. Aku tak pernah melihat Bunda menangis seperti ini. Sungguh, aku jadi menyesal. Tak seharusnya aku mengadu tentang hal ini ini. Bunda maafin, key!
Dimas   :  “Udah, Key! Gausah sedih  (Sembari mengeluskan bahuku) Ini sebagai pembelajaran buat adik lo. Harusnya lo bersyukur punya bunda dan satria yang seperti itu. Gue iri kali sama lo. Gue gak pernah dilarang-larang gitu sama Ibu gue. Ibu gue mah, yang penting gue hidup. Udah! Itu udah cukup!”
Aku        :  “Tapi masalahnya baru kali ini gue liat Bunda nangis. Gue jadi nyesel.”
Dimas   :  “Yaudah. Mungkin Bunda lo terlalu khawatir sama Satria. Jadi kelewatan deh. Yaudah. Sekarang istirahat deh lo. Mandi, terus makan. Gue juga mau pulang nih. Gue pamit ya.” (Sembari keluar menuju pintu dan aku tak lupa mengikutinya)
                Setelah Dimas pamit untuk pulang. Aku kembali kedalam rumah. Harus apa aku? Akhirnya ku niatkan untuk datang ke kamar Bunda.
Aku        :  “Bunda... (Aku mengetuk pintunya. Dan baiknya lagi pintu itu tak terkunci) aku boleh masuk?”
Bunda hanya diam. Tapi ku dengar suara isakan tangis. Ternyata, Bunda masih menangis.
Aku        : (Diam didekat pintu) “Bunda, maafin, Key! Gak seharusnya Key seperti itu. Kalau Bunda ingin marah sama Key. Marah saja. Key ikhlas kok. Karena ini kecerobohan Key juga.”
Tak ada jawaban apapun dari Bunda.. Akhirnya, kuniatkan juga untuk mengunjungi kamar Satria.
Aku        : (Ku ketuk pintu kamarnya) “Dek.. (Alangkah baiknya juga pintu kamar itu tak terkunci) Satria.. Lo gak tidur kan?”
Satria    :  (Sesegukkan) “Ngapain lo kak kesini? Masih mau ngomong sama gue?”
Aku        :  “Bicara apa sih lo, dek? Gue kesini mau minta maaf sama lo. Gausah kasar gitu sama gue. Gue ini kakak lo!” (Aku bicara lantang)
Satria    :  “Gue yang salah kali. Kenapa lo yang minta maaf!” (Bicara agak lantang, namun masih dengan suara yang sesegukkan)
Aku        :  “Ya… gue minta maaf, karena udah ngadu… sama Bunda tadi.”
Satria    :  “Hmmmm.. (Sedikit jeda) Gataulah kak. Gue capek! Keluar ya kak. Gue mau tidur.”
                Tak bisa berkutik. Akhirnya, aku langsung masuk kamarku yang berada disebelahnya.
                Andaikan ada Remi. Pasti dia bisa membujuk Satria kalau sedang ngambek seperti ini. Aduh, Remi. Kenapa sih kamu begitu sempurna dihidupku? Kenapa seorang sesempurna seperti kamu ada dihidupku hanya untuk sekejap? Aku ngerti. Tuhan adil kan, Mi? 
Malamnya, Pukul 10:30…
Hujan sudah terhenti. Aku kembali keluar kamar. Tepatnya ke teras depan kamarku. Setelah kejadian tadi sore aku jadi seperti orang tersangka. Semua orang dirumah sedang diam-diaman. Terlebih Satria marah besar terhadapku. Dia tak mau berbicara kepadaku lagi. Satria? Maafin kakak. Kakak tau, kakak salah. Maafin kakak, Sat!
Dan bodohnya lagi. Disaat masalah yang ini belum terselesaikan. Tiba-tiba lukisan wajahnya datang kembali dilangit hitam itu. Ya! Rindu itu datang kembali. Kenapa rindu tak kenal waktu sih? Mengapa harus malam aku selalu merindukannya? Mengapa pada saat aku sedang sendiri? Duh.. Remi. Kamu apa kabar? Aku belum bisa melupakan kamu, Mi.
                Ditengah kegalauan ku ini. Tiba-tiba terdengar suara getaran. Ya! Betul sekali. Getaran dari hp ku yang ku letakkan disaku celana tiga perempat yang sedang kupakai saat ini. Dan saat ku lihat ternyata Dimas. Untuk apa dia meneleponku?
Dimas   :  “Hallo, Key! Lo gak apa-apa kan?”
Aku        :  “Ya, seperti yang lo dengar suara gue ini. Uh! Rumah udah kayak gak ada penghuninya. Semua pada diam-diaman. Sumpah ya, Mas. Gue kayak tersangka tau gak! Gue bingung harus apa!”
Dimas   :  “Hahaha. Ya begitulah. Masalah keluarga itu namanya. Besok paling udah pada membaik kok. Liat aja besok.”
Aku        :  “Semoga aja deh. Uh!”
Dimas   :  “Lo udah makan?”
Aku        :  “Belum. Gimana mau makan. Suasana aja lagi kayak gini.”
Dimas   : “Makan dulu sana! Nanti sakit lo. Kan dari pulang sekolah perut lo belum diisi apa-apa! Atau mau makan sama gue? Ayo. Gue jemput deh!”
Aku        : “Heh! Sembarangan lo. Lo mau nyulik gue? Lo mau buat masalah keluarga gue makin parah?”
Dimas   :  “Oh iya. Bunda sama Ayah lo terlalu ngekang lo banget sih. Lo nya juga betah-betah aja. Kalau gue jadi lo. Gue kaburan mulu kali.”
Aku        :  “Ya, setiap orang tua kan beda, Mas. Sudahlah. Males gue bahas ini mulu. Bikin nyesek tau gak!”
Dimas   :  “Terus bahas apa dong? Oh iya, bahas si Remi- Remi itu aja yuk? Lo lagi gak kangen sama dia?”
Aku        :  “Duh.. kok lo tau sih. Sebelum lo nelepon gue tadi. Kan gue lagi ngelukis wajahnya dilangit. Hmmm..”
Dimas   :  “Tuhkan. Pasti deh! Emang Remi itu siapa sih? Kok lo sampai segitunya banget? Dia mantan lo ya?”
Aku        :   “Hah? Mantan? Bukan kok.”
Dimas   :  “Terus apa?”
Aku        :  “Remi itu orangnya baik. Manis. Pengertian. Setia banget deh pokoknya. Kalau lo tau dia, mungkin lo naksir.”
Dimas   :  “Eh, gila lo ya! Remi cowok, cyin. Dih.. emang eyke cowok apaan!!?” (Berbicara ala waria)
Aku        :  “Yakali.”
Dimas   :  “Key, gue boleh jujur sama lo?”
Aku        :  “Wah, jadi selama ini lo bohong terus sama gue ya? Jahat lo!”
Dimas   :  “Bukan itu, Key. (Hening beberapa detik) Gue suka sama lo. Gue sayang sama lo.”
Aku        :  (Kaget) “Gue juga sayang kok sama lo. (Berhenti untuk jeda) Sebagai sahabat.”
Dimas   :  “Bukan itu yang gue maksud. Key, gue pengen lo lebih dari sahabat gue. Lo pasti gak mau ya? Lo pasti gamau punya cowok kayak gue kan? Badung, nakal, suka ngerokok. Berbanding terbalik kan sama Remi? Yasudahlah.”
Aku        :  “Enggak kok. Lo gak badung. Cuma sedikit bandel aja. Hehe” (Aku hanya menyengir) Mas, udah dulu ya. Gue ngantuk. Kangen gue tentang Remi udah berkurang kok. Gue bobok duluan ya. Byee, Dimas.”
Dimas   :  “Lo gamau jawab cinta gue dulu nih. Pokoknya besok gue tunggu disekolah lho.”
                Aku langsung memutuskan hubungan lewat telepon dengan Dimas. Aku juga suka kok sama kamu, Mas. Tapi maaf gak segampang itu.
 Remi, diakah penggantimu? Diakah malaikat yang kamu kirimkan sebagai wujudmu? Aku harus apa, Mi? Haruskah kuterima cintanya? Jika ia, sama saja aku mengkhianatimu. Lantas aku harus apa?

Keesokan Paginya….
                Benar sekali. Sampai saat ini. Bunda, Ayah, dan Satria belum ada dimeja makan. Mungkin peperangan antara Bunda dan Satria belum terselesaikan. Uh! Waktu pasti kan menjawabnya.
                Akhirnya, tanpa sarapan. Tanpa pamitan. Dan tanpa Satria. Aku bergegas pergi untuk ke sekolah. Sungguh, aku seperti berada dirumah yang tak berpehuni. Aku memakai helm dan mulai melaju motor matic yang ku pakai ini. Sendiri melewati jalanan yang masih sepi. Uh! Baru kali ini rasanya sendiri saat berangkat sekolah. Sungguh, tak enak sekali.
                Aku sampai disekolah. Dan ternyata aku sudah dicegat oleh Dimas. Untuk apalagi sih? Melihat wajahnya, aku jadi keingat Remi.
Dimas   :  “Pagi, Key! Tumben gak telat lagi.”
Aku        :  “Pagi juga. Kan gak bareng Satria. Satrialah yang biasanya biang telat.”
Dimas   : “Oh gitu. Oya, nanti pulang sekolah gue tunggu di parkiran sekolah ya. Gue mau ngasih kejutan buat lo. Nanti pakai motor gue aja.”
Aku        :  (Mikir) “Lihat saja nanti.”
Sore harinya, pukul 15:00 saat bel pulang sekolah….
Dimas   :  “Hei, key! Ayo buruan ikut gue.”
Aku        :  “Mau kemana sih kita? Plis, Mas. Jangan culik gue.”
Dimas   :  “Iya. Gue mau nyulik lo nih. Udah cepet naik!” (sembari memberikan helm kepadaku)
Aku        :  (Aku memakai helm nya dan berniat untuk naik ke motor Dimas) “Lo mau bawa gue kemana?”
Dimas   :  “Udah diam saja! Nanti juga tau.”
                Aku hanya diam. Diam sepanjang perjalanan. Tapi setelah dipersimpangan jalan. Aku heran. Ingin kemana aku dibawa oleh Dimas? Tapi sepertinya jalan ini aku hafal.
                Tibalah kami sampai disebuah pemakaman umum. Tepatnya pusara Remi. Untuk apa? Dia bilang sendiri, agar aku bisa melupakannya dan dapat mencari penggantinya. Tapi mengapa? Mengapa Ia sendiri yang mendatangkan kenangan itu. Kenangan bersama Remi.
Aku        :  “Remi…? Untuk apa?” (Sembari ku menoleh kearah wajahnya dengan raut bertanya-tanya)
Dimas   :  “Tempat ini kan. Tempat dimana seorang yang lo sayangi dikebumikan?” (Sambil menarik lenganku untuk mendatangi pusara Remi)
Aku        :  (Raut wajah sedih) “Buat apa lo ngajak gue kesini? (Hening..) Remi.. Lo pasti penasaran dengan sosoknya kan? (Aku mendongkak kewajahnya) Ya! Remi! Dia cinta pertama gue. Dia orang yang buat gue berubah. Dia orang yang buat gue jadi dewasa seperti ini. Dia orang yang buat gue bahagia hingga sekarang,”
Dimas   :  (Raut wajah Dimas sedikit sedih. Karena dibandingkan dengannya) “hmm..”
Aku        :  “Gue nyesel, Mas. Waktu tanggal 14 Februari tepat sebelum gue ulang tahun. Dia ingin membuat kejutan untuk gue. Gue denger dari temennya. Dia ingin mengatakan cinta untuk gue. Katanya dia datang larut malam. Sekitar jam11. Nah, sekitar hampir jam 12 dia lihat gue didepan rumah sedang bersama seorang cowok. Dia salah paham. Padahal cowok itu saudara sepupu gue,”
Dimas   :  (dengan nada seperti bercanda) “Trus dia marah sama lo dong? Terus lo di diamin gitu sama dia..”
Aku        :  “Gue gak bercanda, Mas. Waktu dia ingin pulang lagi. Mungkin, dia sedang emosi atau karna cemburu apalah. Nah, dia tabrakan. Motornya melewati batas trotoar. Sumpah, Mas. Gue gak percaya. Gue udah kayak mayat hidup setelah beberapa hari kejadian itu. Gue kira kejadian kayak gitu hanya drama-dramanya orang aja. Tapi ini kenyataan, Mas. Dan itu terjadi dengan Remi. Orang terspesial dalam hidup gue,” (Aku langsung menangis)
Dimas   :  “Duh, maaf, Key! Gue bukan bermaksud buat lo nangis kayak gini. Sumpah bukan itu. (Jongkok dihadapan nisan Remi) Gue disini cuma minta izin sama Remi, untuk menggantikan dia diposisi hati lo.”
Aku        :  (Aku ikut jongkok disampingnya sembari mendengarkan bait-bait kata yang diucapkan Dimas)
Dimas   :  (berbicara dengan pusara Remi) “Remi.. Sorry kedatangan gue ganggu ketenangan lo dialam sana. Gue datang kesini mau minta izin sama lo. Bolehkan gue cinta sama orang yang ada disamping gue ini? Boleh kan gue jadi pengganti lo untuk mengisi hati dia kegue ini? Gue sayang sama dia.”
Aku        :  (Diam mematung membayangkan Remi ada dihadapanku)
Remi     :  (Tiba-tiba Remi datang seperti seorang malaikat) “Terima saja, Key! Saatnya kau melupakan ku. Aku rela. Tugasku sudah berakhir. Sudah ada yang dapat menjagakanmu. Dia orang yang baik. Kau pantas mendapatkannya. Cintai dia. Sayangi dia, Key! Lupakan aku. Ikhlaskan aku.”
Aku        :  (Sontak aku menangis) “Remi, tapi tak segampang itu. Hati kamu masih tertinggal mati dihatiku. Gak ada yang bisa menggantikannya.”
Remi     :  “Sudahlah, Key! Ini sudah saatnya, sebelum semua itu akan berubah. Dan ditempat yang terakhir ini. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepadamu. Jaga dirimu baik-baik ya. Selamat tinggal, Key!”
Aku        :  “Remi, Reeeeeeeeeeemi……  Jangan tinggalkan aku!!!!”
Dimas   :  “Key, lo kenapa?” (sambil melihat wajahku dan memegang bahuku)
Aku        :  (Aku tampak diam) “Mas, dia udah pergi. Remi udah pergi, Mas. Selama ini dia belum pergi. Tapi, sekarang…” (aku semakin menangis)
Dimas   :  “Yaudah. Ikhlasin, Key! Gue akan berusaha jadi pengganti Remi. Lo mau kan?” (Muka berharap)
Aku        :  “Gue gatau, Mas. Tapi gue akan mencobanya..” (sedikit lirih aku menjawabnya)
                Maaf, Remi. Untuk detik ini, semua tentang kamu akan tergantikan olehnya. Maaf juga, aku berarti telah berkhianat kepadamu. Kepada janji kita. Entah apa yang sekarang ku bayangkan tentang dirimu atau bahkan tentang dirinya. Aku tak kuasa untuk mengingat kejadian seperti itu lagi.
                Remi, ku harap engkau bahagia disana. Aku gak akan melupakan kenangan kita. Dan aku berharap sosok Dimas, dapat menjadikan pengganti kamu. Ya! Seperti kamu. Yang sangat spesial dihidupku.

THE END~



No comments:

Post a Comment