Aku tidak paham perasaan apa yang hinggap di dinding hatiku yang masih belum rampung tersusun kebagian-bagian nya. Ada serpihan-serpihan kecil yang sengaja kau pecahkan sehingga aku kehilangan arah untuk mencarinya, karna serpihan itu aku jadi sulit untuk pergi darimu. Dan sulit pula untuk meminta serpihan itu yang sengaja kau simpan untuk mempermainkan perasaanku yang sangat menyayangi sosok pria kerdil seperti dirimu.
Aku tak bisa lepas dari setiap kabut bayangan mu yang kau kebul kan lewat pikiran ku yang entah mengapa semua itu sangat sulit hilang. Memori tentang kau sangat besar. Sehingga aku terpantau sulit untuk menghapusnya satu persatu.
Kau pergi tinggalkan aku disini sendiri dengan setiap genggaman khayal ku yang menjadikan semua itu sebuah pedoman yang teramat penting bagiku. Layaknya sebuah pisau tajam yang kau iriskan ke urat nadi ku perlahan. Akankah aku mati sekarang?
Semua itu sudah terjadi. Aku sudah menyayangimu dalam kurung waktu yang sangat cukup lama. Empat tahun! Bukan kah itu lama? Kalau itu seorang balita, dia sudah terbiasa lari kesana kemari. Kayak kamu yang terus berlarian diotak kanan dan kiriku.
Aku tak percaya. Dalam empat tahun ini, apakah kau tak merasa? Dimana arah kepekaan mu? Oh salah! Tepatnya dimana hati mu?
Kita cukup dekat lho. Akankah kedekatan kita tidak kau rasakan kalau ada getaran-getaran yang cukup kuat jika kita berdua. Jika aku jadi teman setia mendengar keluh kesah mu. Disaat kita bersenggama lewat aliran telpon. Setiap malam, tanpa absen kau selalu menelpon ku. Kurasa kenangan waktu kita yang paling selalu mengenang rasa sakit ya hanya malam hari. Disaat yang lain merasakan mimpi-mimpi indah dengan pujaan atau bahkan dengan keinginan nya, tapi kita malah selalu berbicara sampai kehabisan kata, sampai-sampai kita berbicara lewat pesan singkat dan yang kenyataanya kita sedang bertelpon.
Kau yang mengajari aku tentang malam. Kau yang memberi kenangan tentang malam. Dan kau yang memperhatikan ku lewat malam. Ya, malam hari.
Ah! tapi sudahlah. Kurasa malam ku kelabu. Semakin gelap. Tanpa cahaya. Semakin tak terlihat. Dimakan asa!
Kau pergi tanpa pamit. Kau pergi tanpa salam. Tak pernah di ajarkan sopan santun ya? Cukup sakit jika aku mengenang tentang ini. Cukup sakit kau gantungkan ku seperti jemuran yang sering ku lihat di depan teras rumah mu. Sakit nya sangat perih. Kalau pria yang ku idolakan keberadaan nya ternyata hanyalah semu. Kau semu terhadap cinta yang sudah ku dapatkan ini. Dari kamu! Untuk kamu! Bukan aku!
Aku hanya meminta darimu. Tolong kembalikan sisa-sisa puzzle yang kau hilangkan dari hatiku. Itu teramat penting untuk ku. Tanpa kelengkapan hati itu, aku takkan bisa menyayangi pria lain seperti kamu.
No comments:
Post a Comment