Dreamer!

Friday, 15 November 2013

Supir kursi roda

"bruk..bruk..bruk"
Terdengar suara nyaring sepatu dari hentakan kaki. Pasti itu suara sepatu pantopel milik papah yang akan membawaku untuk kerumah sakit. Sudah kegiatan ku untuk setiap dua hari sekali check-up karena penyakitku yang menurut dokter cukup parah ini.
Hepatitis toksis. Iya, dialah yang menggerogoti setiap daging tubuhku. Dialah yang membuat aku menjadi seperti selembar kertas. Dialah yang menghilangkan setiap mimpiku dalam mengejar sebuah cita-citaku.
Aku ingin menjadi kupu-kupu disana, agar dapat ku kejar setiap jejak ketertinggalanku dalam mengarungi dunia ini.
Aku sedang berkhayal sembari menghadap ke arah taman yang ku desain dengan bantuan papah. Aku menulis setiap perasaanku lewat selembar kertas yang kubuat origami berbentuk burung yang kugantung disetiap dindang kamarku. Sudah berpuluh-puluh bentuk origami disudut dinding yang bercat hijau daun ini dengan tulisan-tulisan entah dari mana mengalir saja dalam otak ku.
"Fira sayang, sudah siap?" tiba-tiba Papa masuk ke dalam kamarku sembari melihat aku yang masih saja menulis. "Sudah berapa banyak karyamu, Fir? Mengapa tak kau tulis dalam format novel saja?" Kata Papah sembari matanya mengelilingi setiap bentuk origami yang ku gantung. "Membuat novel? Ada benarnya juga!" Batinku. Ah, tapi apakah aku sanggup menuliskan cerita-cerita yang entah aku tak pernah merasakan indahnya bermain di luar sana? Bukankah jika menuliskan cerita itu, harus kita rasakan dulu? Sedangkan yang kurasakan hanya berbaringan dikasur, bermain bersama Onyet si kucing persiaku. Atau hanya selalu rutin untuk minum obat? Kurasa, aku takkan sanggup!
"Tidak, Pah! Aku tak punya ahli dalam bidang seperti itu." kataku dan segera berdiri menggantungkan origami tulisanku di dekat jendela.
"Ah, yasudah. Itu terserahmu. Kalau kau ingin katakan saja pada Papah ya, Fir?" Pesan nya demikian, dan aku hanya menggangguk.
Pah, seandainya aku masih bisa seperti remaja lain nya. Masih bisa bermain hingga tak kenal waktu. Bisa jalan-jalan bersama para sahabat, pacar atau orang tuanya. Tapi, itu semua tak dapat ku lakukan, Pah. Apalagi, semenjak Papah bercerai dengan Mamah. Semenjak saat itu, aku tak punya harapan sekecil apapun itu dan setelah penyakit yang menggrogoti tubuhku ini. Batinku.
"Yaudah, kita langsung kerumah sakit yuk. Dokter Sisi sudah menunggu kita." Ucap Papah langsung membantuku berjalan dengan rangkulan ditangan nya. Tuh, jalan sedekat ini saja aku harus ada yang membantu. Bagaimana aku bisa hidup lebih lama?
Dibukakan pintu mobil sedan milik Papah. "Pelan-pelan sayang." kata beliau sembari melepaskan rangkulan tanganku dari pundaknya. Akhirnya, aku telah duduk rapih di bangku paling depan sembari kunyalakan iPad yang ku letakan dibangku belakang. Dengan jalan perlahan sembari ku lantunkan doa. Kami berangkat.
Aku masih asyik dengan lagu yang ku putar ini. "Pah, sebenarnya Papah jenuh tidak selalu merawatku? Papah tidak bosan selalu membawaku kerumah sakit?" tanyaku pada beliau.
Tuhan.. Jika yang terbaik itu tidak akan bertahan lama lebih baik lepaskan semuanya.
"Kenapa kamu menanya seperti itu, sayang? Papah tidak akan bosan merawatmu. Papah takkan jenuh menjagamu. Karna hanya kamu satu-satunya harta Papah yang paling berharga, sayang. Maka dari itu, kamu harus semangat melawan setiap penyakitmu itu. Kamu tak kasihan dengan tubuhmu? Coba kamu perhatikan? Kamu sudah sangat beda daripada sewaktu kamu masih SMA, sayang," Ujarnya dengan mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
Aku langsung saja melihat kaca yang berada ditengah atas antara kita. Ternyata benar, pipiku saja semakin tirus. Memang, aku sudah hampir sebulan ini kurang untuk melahap dengan nafsuku saat makan. Hanya saja, 1 piring yang disendukkan ke aku, baru 3senduk aku sudah minta berhenti. Ya... Karena kurasa memang aku sudah kenyang.
Entahlah... Aku hanya pasrah dan ikhlas kalau memang jalan takdir ku di dunia ini seperti itu. Aku yakin, ini adalah sesuatu yang terbaik yang Tuhan berikan untukku. Aku harus mempercayai takdir agar aku takkan tersesat dijalanNya.
"Yuk, kita sudah sampai." Papah mengagetkan ku yang sedang melamun memikirkan bagaimana takdir itu terus kulalui. Apakah semua takdir; termasuk aku selalu dibawa kerumah sakit ini akan sia-sia? Entahlah, hanya Tuhan yang mengetahuinya. Ku jalankan semua takdirku sesuai dengan jalanNya.
"Dek, tolong dong!" Seru Papah setengah berteriak kepada sosok lelaki berwajah tampan nan manis itu. Dialah, supir dari kursi roda untuk orang-orang yang tak kuat berdiri seperti aku.
Lelaki itu langsung menghampiriku, setengah berlari dan membantuku untuk duduk di kursi roda ini. "Tolong antarkan dulu putri saya ke dokter Sisi ya! Adik tahu kan?" kata Papah menyuruh lelaki itu sembari memberikan uang tip yang entah berapa Papah mengasihnya. Dan yang diajak berbicarapun mengangguk sembari melengkungkan bibirnya. Pertanda ia sedang tersenyum.
Biasanya yang membawaku ke ruangan dokter Sisi yaitu Pak Bayu. Tapi mengapa malah lelaki ini? Apakah dia telah menggantikannya? Ah! Sudahlah.
Ku lihat Papah telah masuk kembali kedalam mobil sedan hitam metaliknya. Dan segera mendarat dengan apik keparkiran yang tak jauh dari tempat aku duduk dikursi roda ini. "Yuk, nona. Saya antarkan ke ruangan dokter sisi," kata lelaki yang menyupiri aku dikursi roda ini.
Langsung saja aku dibawanya menuju ruangan dokter sisi yang memang masih berada dilantai satu. Dengan perlahan, ia berjalan melewati ramainya pengunjung rumah sakit ini. Banyak yang mengantre diloket pendaftaran. Hampir 3 baris orang-orang yang mengantre tersebut.
Aku hanya terdiam memandang ke arah depan. "Kamu baru ya?" tanyaku kepada lelaki itu. "Ah tidak! Aku hanya menggantikan Ayah yang sedang sakit dirumah," wah! Anak yang berbakti sekali. Aku sedikit takjub mendengarnya.
"Sudah sampai, Non." Katanya dan aku melihat sekeliling ruangan ini. Sepi. Hanya bisa terhitung memakai jari. Ku lihat papan berwarna hitam yang kira-kira berukuran 30x15 itu. Dr. Sisi Raymon Haikal. Aku mengangguk-anggukan kepala.
Setelah ku lihat ke arah kanan ku; dimana tempat lelaki itu berdiri. "Hei, jangan tinggalkan aku dulu," Aku sedikit berterik kepada lelaki itu. Ternyata dia pergi tanpa pamit.
Ku pegang roda dikursi ini dan ku hampiri lelaki itu. "Kamu tega sekali! Tidak lihat suasana sekitar? Tega ya, meninggalkan wanita penyakitan di tempat sepi seperti ini? Temaniku dulu hingga Papah datang," Ujarku kepadanya yang masih melihat tanganku yang berada pada lengannya. Uh! Aku tak sadar, jika aku menggapai tangannya. Ku kira tadi aku hanya memegang sebatas bajunya yang agak loggar itu.
"Maaf... Temani sebentar ya," Ucapku merengek seperti bak anak balita jika ingin bermain ditaman wisata.
Dia hanya mengangguk. Dan langsung saja duduk dikursi panjang ruang tunggu. "Maaf jika merepotkanmu.." Aku membenarkan letak posisi kursi roda menjadi lawan arah.
"Siapa namamu?" Aku bertanya lagi. "Adit," dia membuat lengkungan dibibirnya kepadaku. Senyuman yang indah. Manis. Persis seperti wajahnya. Ah! Entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari wajahnya.
"Itu, Papah Non datang. Saya pergi ya, Non!" Katanya dan langsung siap sedia untuk berdiri dari tempat kami duduki.
Ku dengar dia sedikit berbicara kepada Papah. Dan tiba-tiba saja dia menunjuk kearah ku dengan meninggalkan sebuah senyuman termanisnya. Ah! Tenang sekali perasaan ini.
"Sayang, kenapa senyum-senyum seperti itu?" Papah tiba-tiba mengngagetkan ku dengan pertanyaannya yang entah harus ku jawab apa. "Eh Papah, ah eng.. Enggak Pah," Aku berbohong. Tetapi sudah ku akui kalau Papah mengerti jika aku berbohong seperti itu. Buktinya Papah menyolek pipiku yang sudah seperti buah tomat.
Aku langsung didorongnya menuju ruangan.
***

No comments:

Post a Comment